SOLOPOS.COM - Prasetyo Atmosutidjo menunjukkan foto Ki Ageng Suryomentaram, Rabu (16/9/2015). (JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Ki Ageng Suryomentaram juga merupakan aktivis pergerakan nasional.

Harianjogja.com, BANTUL-Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya dikenal sebagai tokoh yang melahirkan kawruh jiwa. Putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII itu juga dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional. Debutnya dimulai setelah ia melepas gelar pangeran dan meninggalkan Istana Kasultanan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Selepas 1914, perang dunia I berakhir. Namun, dunia tetap dilanda kecemasan akan munculnya perang yang lebih dahsyat. Orang menyebutnya perang dunia II, melibatkan negara-negara sekutu yang dipimpin Amerika Serikat dan blok yang dipimpin Kekaisaran Jepang dan Jerman.

Di Ngayogyakarta, yang berjarak ribuan kilometer dari Eropa, Amerika dan Asia Timur, sejumlah anak negeri memantau perkembangan dunia. Mereka antara lain Presiden I Indonesia Soekarno, tokoh Taman Siswa Ki Hajar Dewantara dan bangsawan Kraton Ngayogyakarta Ki Ageng Suryomentaram bersama saudara dan sahabatnya, Ki Prawiro Wiworo dan Ki Prono Widigdo.

Para tokoh muda yang cemas itu membentuk Paguyuban Selasa Kliwon. Setiap penanggalan Jawa itu, mereka mendiskusikan nasib bangsa Indonesia ke depan saat perang dunia II terjadi.

“Ki Ageng Suryomentaram menganggap, perang dunia II ini akan besar, melibatkan banyak negara. Memang tidak terjadi di Indonesia tapi akan berpengaruh ke negeri ini,” tutur Prasetyo Atmosutidjo, pengajar di Sekolah Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (16/9/2015) pagi, di rumahnya, Panggungharjo, Sewon, Bantul.

Sembari menyeruput teh panas, keluarga dari Ki Prawiro Wiworo itu berkisah tentang masa-masa pergerakan yang dilalui Ki Ageng Suryomentaram.

“Rumah bapak saya dulu di Ngadinegaran [daerah sekitar Kraton Jogja], rumah itu dulu sering dipakai untuk tempat pertemuan Selasa Kliwon,” kata lelaki kelahiran 1957 itu.

Para tokoh muda itu memunculkan tiga pilihan bila situasi genting menimpa Indonesia akibat rembetan perang dunia II. Keputusan itu akan mengubah nasib bangsa ini ke depan.

Opsi pertama merapat ke Belanda, negeri nun di seberang yang telah menduduki Indonesia selama ratusan tahun. Kedua mendekat merapat ke Jepang. Pilihan terakhir adalah tidak memilih siapapun namun memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Para pemberani itu memilih opsi ketiga.

“Untuk memperoleh kemerdekaan butuh kesadaran dari masyarakat agar menjadi bangsa yang berani bukan bangsa yang terjajah. Ki Ageng Suryomentaram turut mengampanyekan soal itu. Dia bilang ini kesempatan langka saat penjajah sedang berkecamuk [Indonesia memerdekakan diri], belum tentu terjadi dalam 100 tahun,” Prasetyo bercerita.

Pangeran ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII, berbicara dari satu tempat ke tempat lain. Apa yang ia sampaikan masih terekam sampai sekarang di salah satu jilid buku berjudul Persatuan yang tersimpan rapi di rumah Prasetyo. Buku bersampul merah itu juga berkisah banyak hal. Antara lain sikap dan kritikan Ki Ageng Suryomentaram pada pemerintah agar bersikap adil. Ketidakadilan kata Ki Ageng akan memicu pemberontakan.

Ki Ageng Suryomentaram juga tak kehabisan akal. Demi mempersiapkan kemerdekaan, mereka meminta otoritas Jepang yang berkuasa saat itu membentuk tentara sukarela, terdiri dari warga pribumi. Tentara sukarela kelak menjadi Pembela Tanah Air (Peta) dan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Naskah perizinan pembentukan tentara sukarela itu ditandatangani sembilan orang termasuk Ki Ageng, tanda tangannya menggunakan darah,” Prasetyo berbicara sembari menunjukkan sejumlah buku tentang Ki Ageng Suryomentaram.

Tapi perjuangan nasional tidak membuat bangsawan yang menolak poligami itu meninggalkan tirakatnya tentang ilmu jiwa atau dikenal kawruh jiwa. Berbagai daerah di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur hingga Jawa Barat ia datangi hanya untuk berbicara bagaimana manusia memperoleh kebahagiaan.

Kebahagiaan itu bukan soal harta berlimpah atau kekuasaan, kebahagiaan itu adalah cara pandang dan bagaimana manusia menahan diri. Salah satu kawruh jiwa yang paling terkenal adalah filosofi mulur mungkret.

“Alamiahnya hidup seseorang itu mulur [mengembang] dan mungkret [mengkerut]. Kalau kita ada keinginan artinya mengembang, tapi kita harus bisa mengkerut dan tidak memaksakan diri bila keinginan itu tidak tercapai. Maka bersabarlah dulu sambil berusaha lagi,”
Ketua Paguyuban Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) DIY itu menjelaskan salah satu petuah kawruh jiwa. Filosofi lainnya yaitu Getun-Sumelang. Ki Ageng Suryomentaram berpesan agar manusia tidak terbelenggu dengan kekecewaan dan beban masa lalu. Manusia sebaliknya juga jangan khawatir atau cemas tentang nasibnya ke depan. Berbahagialah saat ini juga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya