SOLOPOS.COM - Kirab Pusaka di Dusun Pengkol, Desa Pengkol, Kecamatan Nglipar, Sabtu (25/10/2014). (Kusnul Isti Womah/JIBI/Harian Jogja)

Ada beberapa cara warga untuk menyambut 1 Muharam. Salah satunya, dengan menggelar kirab pusaka. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com, Kusnul Isti Qomah.

Pasukan lombok abang sudah tampak berjajar rapi di halaman sebuah rumah di Dusun Pengkol, Desa Pengkol, Kecamatan Nglipar, Sabtu (25/10/2014). Tak lama kemudian, rombongan pria memakai pakaian adat Jawa berjalan keluar dari sebuah rumah.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Mereka membuat barisan rapi di depan pasukan lombok abang. Di tangan mereka masing-masing, tampak tombak serta keris yang digenggam erat. Tombak maupun keris tersebut bukanlah replika atau mainan. Semua tombak maupun keris tersebut adalah pusaka yang merupakan warisan dari leluhur.

Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wijoyo Kusumo dari Pakualaman berjalan menuju ujung barisan sembari membawa bendera hijau. Begitu bendera hijau tersebut dikibarkan, rombongan pembawa pusaka, pasukan lombok abang, serta warga yang ikut di belakang mulai berjalan perlahan menuju Balaidusun Kedung Poh.

“Ini merupakan ritual kirab pusaka yang digelar warga Pengkol dan Kedung Poh. Tujuannya, untuk melestarikan warisan budaya dalam bentuk pusaka,”  ujar dia, di sela-sela acara, Sabtu (25/10/2014).

Rupanya, selain sebagai bentuk uri-uri terhadap warisan budaya, kirab pusaka tersebut juga untuk menyebarkan energi positif dan menghalau energi negatif. Bisa dalam lingkup dusun, desa, kecamatan, maupun kabupaten.

Dalam kirab tersebut, ada tiga pusaka utama warisa Ki Ageng Damarjati atau Kanjeng Sunan Tremboyo. Ketiga pusaka tersebut yakni payung agung, tombak porowelang, serta cemeti pamuk. Sementara, pusaka berupa tombak dan ratusan keris merupakan milik warga Kedung Poh dan Pengkol.

“Ada yang dibawa sendiri, ada yang dibawakan. Antusiasme warga sangat besar,” ujar sesepuh yang memimpin acara Wagino.

Usai dikirab menuju Balaidusun Kedung Poh dan disambut kesenian seperti reog, seluruh pusaka kembali diarak menuju makan Ki Ageng Damarjati. Di sana, warga mendoakan Ki Ageng Damarjati serta berdoa kepada Tuhan.

Rombongan kembali bergerak menuju lokasi awal kirab dimulai.  Ketika pusaka utama kembali ditempatkan pada tempat semula, tombak dan ratusan keris kembali ditata dengan rapi. Namun, ritual tak berhenti disitu saja. Prosesi berlanjut dengan tradisi nguras kong atau nguras gentong (menguras gentong).

Warga sudah antre sambil membawa botol kosong. Mereka berharap bisa mendapatkan air tersebut. Puluhan warga berjejalan di sekitar gentong berisi air yang diberi sebuah pendapa kecil. Pendapa kecil itu diselimuti kain putih.

“Warga percaya bisa mendapatkan berkah dari air tersebut seperti kesembuhan,” ujar salah satu warga, Slamet.

Ketua Dewan Budaya Gunungkidul CB Supriyanto mengatakan, kebudayaan semacam kirab pusaka perlu dilestarikan. Selain melestarikan warisan leluhur, hal itu bisa menjadi daya tarik wisata di Gunungkidul. Terlebih, kirab pusaka menjadi agenda tahunan.

“Pengemasannya bisa dibuat lebih menarik lagi,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya