SOLOPOS.COM - Renovasi Bangsal Kepatihan beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/dok)

Renovasi Bangsal Kepatihan beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/dok)

Di balik kemegahannya, Bangsal Kepatihan di Jalan Malioboro Jogja menyimpan kisah licik pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kepatihan pada dua abad lampau merupakan kantor Patih Danurejo. Kawasan tersebut sekarang menjadi nama Kecamatan Danurejan. Tahun 1813 Gubernur Jenderal Hindia Belanda melancarkan strategi licik dengan meminta Kraton mengangkat patih. Residence Yogyakarta John Crawfurd mengusulkan Patih dari Kraton hingga diangkatlah patih Danurejo IV.

Patih berasal dari bangsawan Kraton Ngayogyakarta sebagai orang kepercayaan Sultan Hamengku Buwono V di pemerintahan Hindia Belanda. Ia sebagai perdana menteri Kerajaan Mataram. Singkat cerita patih justru lebih banyak bekerja dengan Belanda yang ketika itu sebagai penjajah. Patih dimanfaatkan untuk mengelabui raja dengan berbagai macam strategi karena Belanda punya target mengalahkan kekuasaan Kraton.

Kebetulan Raja Mataram Sultan Hamengku Buwono V ketika itu masih berusia 13 tahun. Karena usianya yang masih muda, Patih dengan leluasa mendikte Raja Mataram tersebut. Alhasil patih Danurejo punya kekuasaan di atas raja. Loyalitasnya pun cenderung kepada Belanda bukan lagi kepada Sultan. Berbagai kebijakan dengan Belanda diketahui membohongi rakyat dan Kraton.

Pengamat Sejarah Jazid mengatakan salah satu tindakan patih Danurejo adalah mengenai hasil pertanian rakyat. Zaman dulu rakyat yang menggarap tanah Kraton memberikan glondong pengarem arem kepada raja. Lebih gampangnya kraton memberikan pajak tanah yang digarap rakyat. Setiap wilayah dikuasai para sigap atau biasa disebut lurah.

Sigap ini adalah pangeran yang ditempatkan di luar Kraton. Dia bertugas menarik pajak dari rakyat yang memakai tanah Kraton. Rakyat dengan suka cita memberikan pengarem arem kepada raja melalui sigap ketika panen. Dari sigap ini ujungnya nanti akan diterima patih sebelum diserahkan kepada raja.

Setelah bertahun-tahun ternyata hasil bumi melalui tangan Patih Danurejo dari rakyat tidak sampai kepada raja Sultan Hamengku Buwono V melainkan Gubernur Jenderal Belanda. Aneka macam hasil dari rakyat masuk ke pemerintahan Belanda. “Jadi patih Danurejo itu loyalitasnya kepada Belanda karena patih bisa mendikte Sultan yang masih berumur 13 tahun,” katanya belum lama ini.

Dari berbagai sumber menyebutkan Belanda ketika hendak menguasaiYogyakartasudah tidak punya kas lantaran sudah habis untuk perang melawan kerajaan lain di Jawa. Sehingga misinya keYogyakartamerogoh kekayaan yang ada di Mataram. Waktu berlalu, Belanda bekerja dengan Patih berlangsung belasan tahun.

Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro yang merupakan oposan Belanda merasa terganggu dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda berencana membuat jalan Magelang – Jogja. Patih Danurejo yang diminta untuk membuat patok jalan, namun menyasar pekarangan makam ibunda Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Alhasil Pangeran Diponegoro tidak terima sehingga patok dicabut.

Belanda marah melihat patok yang akan dibuat untuk jalan dicabut. Patih diminta untuk memasang patok lagi sehingga menimbulkan provokasi bagi Pangeran Diponegoro. Keduanya pun bersitegang. Rumah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo dibakar termasuk masjid yang baru saja dibangun. Pangeran Diponegoro bersama pendukungnya menghindari Belanda ke arah Dekso Kulonprogo membangun basis kekuatan.

Kemudian menuju Goa Selarong di Bantul untuk menyusun strategi gerilya. Sejumlah bangsawan Kraton juga ikut mengungsi di goa tersebut. Hingga akhirnya menyatatakan perang selamalimatahun 1825 – 1830. Menurut sejarah perang paling lama Belanda di Jawa. Walaupun akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap kemudian dibuang keSulawesisampai meninggal dunia.

Kekuatan tentara Belanda berhasil menjajah negeri Mataram dengan strategi licik tersebut. Ujung-ujungnya belanda bisa menguasai mataram dengan mengambil segala kekayaan. Saat Sultan Hamengku Buwono IX bertahta, Patih dikembalikan ke Kraton sehingga tidak ada lagi Patih Danurejo pada tahun 1940 sampai sekarang.

Saat ini raja Ngayogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X otomatis menjadi Gubernur DIY. Melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY yang targetnya disahkan tahun ini Sultan meminta agar ada pasal yang mengatur pembaharuan Kraton. Termasuk dalam suksesi pengangkatan raja yang bertahta minimal 30 tahun.

Aturan tersebut bertujuan agar kemampuan raja bisa disesuaikan dengan administrasi negara seiring raja otomatis Gubernur DIY. Selain minimal 30 tahun, juga berpendidikan  minimal SMA dan tidak pernah dipenjara. “Sehingga Sultan yang diangkat menjadi raja ketentuannya sama ketika diangkat jadi Gubernur,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya