SOLOPOS.COM - Nur Halimah, Rubini dan Purwaningsih bekerja menempel kain perca di halaman rumah mereka, Senin (27/8). (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Nur Halimah, Rubini dan Purwaningsih bekerja menempel kain perca di halaman rumah mereka, Senin (27/8). (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Memasuki arus balik Lebaran, banyak pemuda pemudi desa yang ikut para perantau ke kota. Mereka ingin ikut bekerja di kota yang dianggap memberikan penghasilan besar daripada bekerja di desa. Padahal, ada hal-hal yang menjadi nilai lebih dari pekerjaan di desa.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Nur Halimah, 21, duduk di atas selembar tikar di halaman rumahnya, di Dusun Ganasari Banjarasri Kalibawang. Di tempat yang teduh di bawah pepohonan itu, ia bersama dua tetangganya, Rubini dan Purwaningsih, sibuk mengutak-atik kain perca. Beberapa anak kecil tampak bermain di sekitar mereka.

Seorang bayi mungil berbaring di samping Nur Halimah. Di sela pekerjaannya, sesekali Nur Halimah melihat kepada bayi tersebut,dan mengajaknya mengobrol. “Ini anak saya, belum genap berusia tiga bulan, jadi harus sering dililing [diajak mengobrol],” katanya, sambil terus bekerja.

Siang hari kemarin, tiga ibu rumah tangga itu melakukan memiliki kegiatan baru. Mereka menerima tawaran bekerja menempel kain perca menjadi selembar kain. Kain bermotif batik itu menjadi bahan membuat tas kerajinan khas Jogja. Proses setelah ditempel, dilakukan oleh orang lain lagi. Karena menganggap pekerjaan itu ringan dan bisa dilakukan sambil mengasuh anak, mereka menerimanya.

Benar saja, mereka bisa bekerja sambil tetap mengasuh sendiri anaknya yang masih bayi. Rubini, bahkan bisa sambil mengasuh tiga anaknya sekaligus, yakni Linda, 8 tahun, Sigit, 5 tahun dan Kelvin yang baru berumur 4 bulan.

Kelvin dibuatkan ayunan di dahan pohon menggunakan kain sarung, yang kemudian digoyang-goyang oleh Linda. Sedangkan Sigit, bermain pasir di dekat mereka. Ketika Kelvin menangis, Rubini kemudian memangkunya, sambil tangannya terus mengutak-atik kain perca. “Tangannya ke sana-sini, menempel kain, mengganti popok, menggendong, jadinya kain selembar gak selesai-selesai,” jelas Rubini.

Sudah lewat tengah hari, ia belum selesai menempel selembar kain yang dibuat berukuran sekitar satu meter persegi itu. Begitu pula kedua temannya. Padahal, upah menempel satu lembar kain itu hanya Rp600. Upah yang sangat kecil, yang bahkan tidak cukup untuk uang saku seorang anak sekolah saat ini.

Rubini mengaku menerima tawaran pekerjaan itu, demi mendapat penghasilan tambahan. Suaminya yang menjadi buruh tani, harus dibantu untuk menghidupi lima anak mereka. “Karena anak saya masih kecil-kecil, maka saya hanya bisa bekerja yang bisa dilakukan sambil mengasuh anak seperti ini,” jelasnya.

Purwaningsih menambahkan, bagi para ibu rumah tangga seperti mereka, bisa bekerja sambil tetap mengasuh anak adalah nilai lebih. Apalagi, pekerjaan itu bisa dilakukan di rumah sendiri. “Kalau merantau memang penghasilannya besar, tetapi biaya hidup juga besar. Kalau bekerja seperti ini, meskipun upah kecil, tetapi tugas rumah tangga tetap bisa dijalankan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya