SOLOPOS.COM - Ilustrasi perempuan buruh gendong. Salah satu karya Biennale 2011 lalu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Buruh gendong di Jogja (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Sudah 22 tahun, Suyatni bekerja sebagai buruh gendong. Pekerjaan ini diambilnya karena selain sudah menjadi profesi turun temurun dari orang tuanya, buruh gendong dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapatkan rejeki.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Pasalnya, katanya kepada Harian Jogja, di daerah asalnya di Sentolo, Kulonprogo, tak cukup subur, sehingga kegiatan bertani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, apalagi dia masih harus membesarkan ketiga anaknya.

Penghasilan suaminya sebagai tukang becak juga tak dapat diandalkan. Tapi bekerja sebagai buruh gendong, kini diakuinya sudah tidak sederas dulu penghasilannya, mengingat hampir tiap pedagang sekarang sudah memiliki karyawan sendiri-sendiri. Mereka diperkejakan untuk menjaga toko sekaligus mengangkut barang dagangan.

Belum lagi, bayaran untuk sekali angkut hanya Rp2.500. Baginya angka itu kurang, jika harus menggendong karung berat di Pasar Bringharjo. ”Resikonya besar karena naik turun tangga kalau di Pasar Bringharjo,” ujarnnya, Rabu (30/5).

Suyatni biasa memulai kerjanya sekitar pukul 08.00. Untuk sampai kePasar Bringharjo,iaberangkat dari rumahnya dengan menaiki bus Menoreh, jurusan Kulonprogo-Jogja. Sesampainya di Pasar Gamping, Sleman, Suyatni menyambung jalur 15 dan turun di sekitar Radio Arma Sebelas. Lalu,berjalan menuju pasar.

Langkah pasti Suyatni saat ini sudah semakin surut mengingat usianya yang semakin menua. Satu harapannya,ia ingin berjualan di pasar tersebut dengan membawa hasil pertaniannya. Keinginannya ini semakin besar ketika melihat, los pasar di lantai dua banyak dibeli oleh pedagang luar Jogja.

Tapi tentu kemauannya tersebut sulit dicapai. Selain mengaku sudah mendapatkan cibiran bahwa buruh gendong tak memiliki kemampuan untuk berdagang, untuk dapat membeli los itu juga butuh dana yang besar.

Ia mendengar untuk satu modul oleh pemilik lama dijual Rp20 juta. Satu modul itu berukuran 1×1,5 meter persegi. ”Daerah-daerah belakang pada lantai dua, atau los metro itu banyak sekarang yang dibeli oleh orang luar. Ini mulai terjadi sekitar dua tahun terakhir,” tuturnya.

Pengurus Yayasan Anisa Swasti, organisasi yang mendampingi buruh gendong, Umi Asih mengatakan di Pasar Bringharjo, dia menangani 200 buruh gendong, sedangkan di Pasar Kranggan dan Giwangan relatih lebih sedikit, masing-masing yakni 14 dan 125 orang.

Umi berujar, mendapatkan tempat berjualan di pasar diperjuangkannya, sebab menginjak usia yang semakin renta, buruh gendong seharusnya memperoleh pekerjaan yang tidak banyak mengeluarkan tenaga.

Pernah dia mengusulkan agar pengelola pasar memberikan tempat berjualan bagi buruh gendong, tapi katanya tak digubris. Takutnya kesempatan ini semakin sulit didapat setelah los pasar banyak dibeli oleh orang luar.

“Mereka kuat sekali, baik dari kelompok dan permodalan. Untuk investasi mereka tak main-main. Dalam jangka panjang, bisa jadi pasar di monopoli oleh orang luar, bukan asli Jogja,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya