Jogja
Senin, 4 Juli 2011 - 10:26 WIB

Kisah Eni, perajin layang-layang di Sleman

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bagi Eni Wulandari, 37, angin besar adalah pertanda baik. Kemarau adalah berkah yang selalu dinanti keluarga kecilnya. Inilah waktunya untuk mencari bambu. Menghias kertas dan membuatnya menjadi layang-layang.

Sejak belasan tahun lalu, Eni membuat layang layang berukuran jumbo. Modelnya pun beragam, Mulai dari bentuk kupu-kupu, bahkan bentuk pesawat terbang pun mudah dikerjakannya.

Advertisement

Soal desain, ia bekerja sama dengan suaminya. Bahkan anak sulungya pun kini mulai mahir merancang layang-layang besar. Ia mulai membantu mendesain dan membuat kerangka model baru.

“Lumayan untuk tambahan penghasilan,” ujar dia kepada Harian Jogja, akhir pekan lalu.

Advertisement

“Lumayan untuk tambahan penghasilan,” ujar dia kepada Harian Jogja, akhir pekan lalu.

Dia lantas menjelaskan secara detail proses pembuatan layang-layang. Ia sengaja menggunakan bambu yang lentur. Tujuannya agar tulang layang-layang nantinya tidak mudah patah saat di udara.

Sebelum diraut dan dihaluskan sesuai ukuran dan desain layang layang, bambu terlebih dahulu harus dibiarkan alias diangin-anginkan. Agar benar-benar kering.

Advertisement

Pengaitnya, Eni menggunakan benang string berukuran agak besar. Setelah jadi, layang-layang dipajang di teras rumahnya di kampung Krapyak 8, Margodadi, Seyegan. Sebagian ia pasarkan ke toko-toko tetangga dan toko di sekitar Seyegan.

Untuk ukuran standar (besar normal), harganya rata-rata mencapai Rp25.000 hingga Rp30.000. Adapun untuk ukuran kecil biasanya lebih murah berkisar antara Rp15.000 per buah.

Sedangkan untuk model tertentu seperti pesawat, harganya lebih mahal lagi. Bisa mencapai Rp75.000 bahkan bisa mencapai ratusan ribu tergantung model dan kerumitannya.

Advertisement

Apalagi jika ornamen warnanya banyak dan banyak hiasan. Dalam sehari Eni rata-rata mampu memproduksi lima sampai enam buah layang layang. Tak butuh lama, layangannya pun biasanya ludes terjual.

Pembeli layangan Eni umumnya berasal dari berbagai kecamatan di Sleman. Beberapa ada juga berasal dari Magelang. Mereka tertarik karena bentuknya yang unik dengan warna yang mencolok.

“Mumpung masih ada angin, untungnya lumayan kalau sedang ramai layangan habis. Paling tidak sehari tiga sampai empat laku. Bisa nambah untung kios saya, ” ujar perempuan yang juga pedagang kelontong itu.(Wartawan Harian Jogja/Sumadiyono)

Advertisement

HARJO CETAK

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif