SOLOPOS.COM - Tupan berdiri di samping rumahnya di dekat jurang di Perbukitan Kembang, Dusun Suru, Kampung, Ngawen, Gunungkidul Senin (28/8 - 2023).

Solopos.com, GUNUNGKIDUL — Kemiskinan menjadikan dua keluarga di RT 004/RW 007, Dusun Suru, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bertahan hidup di daerah terpencil di area perbukitan. Bukan hanya itu, mereka juga kerap diserang kawanan monyet dan menjarah hasil perkebunan.

Dua keluarga miskin yang tetap berada di kampung terpencil itu adalah keluarga Tupan yang tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Sedangkan satu keluarga lagi, Winarno yang tinggal bersama istri, anak, menantu, dan dua orang cucu mereka.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Pada 2010, penduduk di kampung itu ada sebanyak 22 keluarga. Seiring berjalannya waktu, satu per satu keluarga mulai pindah hingga 2020 lalu tinggal dua keluarga dengan sembilan jiwa yang menetap di perbukitan itu.

Lokasi RT 004 berada di Bukit Kembang, tak jauh dari kawasan Gunung Gambar. Sepeda motor tidak bisa sampai ke lokasi tersebut. Siapa pun yang ingin ke Bukit Kembang harus berjalan kaki melewati tanjakan berbatu curam.

Rumah yang lokasinya paling atas atau di puncak Bukit Kembang merupakan milik Tupan. Sedangkan rumah kakaknya, Winarno, berjarak sekitar 150 meter. Di antara dua rumah itu membentang lahan-lahan kosong yang dahulu berdiri rumah-rumah milik 22 keluarga. Suara burung dan hewan liar kerap terdengar.

“Sebenarnya kami pengin pindah seperti yang lain, tapi tidak ada biaya pindah,” kata Tupan, Senin (28/8/2023).

Rumah Tupan berbentuk limasan. Di depannya terdapat kandang untuk ternak seekor sapi. Di teras dekat kandang sapi ada kandang kambing yang menyatu dengan rumah induk. Menurut kepercayaan warga sekitar, masih ada macan yang berkeliaran di Bukit Kembang.

“Tapi saya belum pernah melihat macan,” kata Tupan.

Sulit Listrik & Air

Selain tidak memiliki tetangga, dua keluarga ini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Kebutuhan listrik didapat dari kabel yang ditarik sejauh satu kilometer dari bawah. Selain itu, kedua keluarga ini juga kesulitan untuk mendapatkan air bersih.

Tupan harus menyambungkan 100 pipa paralon agar air dari Gunung Gambar sampai ke rumahnya. Winarno membuat sumur di sungai yang mengalir di bawah rumahnya.

“Hidup di sini sangat sulit,” kata Sugiyanto, istri Winarno.

Saat musim hujan, air mengalir dengan lancar bahkan banyak terbuang karena dua keluarga itu tidak memiliki penampungan air.

Kondisi berbeda terjadi saat kemarau. Air hanya mengalir tetes demi tetes yang keluar. Keran tidak pernah dimatikan karena tetesan air langsung tertampung ke dalam bak batu alam di belakang rumah. Setelah bak terisi penuh, Tupan langsung memindahkan air ke bak di dalam rumah.

Tupan dan Winarno bekerja sebagai buruh serabutan. Jika tak ada yang memakai jasa mereka, keduanya mencari rumput untuk sapi dan kambing.

“Kalau sore harus sudah pulang karena istri dan anak saya takut di rumah sendirian. Saya tidak bisa bekerja jauh dan hanya menerima panggilan membantu memotong kayu atau memetik hasil panen,” katanya.

Lahan pertanian yang mereka miliki tidak bisa menjadi tumpuan hidup. Lahan tersebut hanya ditanami kacang, kedelai, pisang, nangka, dan kelapa. Namun, hasil tersebut kerap menjadi jarahan kawanan monyet ekor panjang.

“Hampir setiap hari monyet datang dan masuk rumah. Sekali datang puluhan ekor,” kata Tupan.

Sebenarnya, dia dan kakaknya sudah membeli lahan di bawah bukit dengan menjual sapi.

“Saya juga membantu merawat orang tua pemilik lahan yang tinggal sendirian. Saya menyanggupinya karena ingin segera pindah agar aman dari longsor maupun serangan monyet,” katanya.

Antar Anak Sekolah

Tupan masih memiliki anak yang bersekolah di SMK Negeri Nglipar yang setiap hari harus diantar dan dijemput. Setiap hari, ia mengantar anaknya sekolah mulai berangkat dari rumah sekitar pukul 05.30 WIB.

“Kami berjalan 300 meter kemudian naik motor yang saya letakan di jalan. Tiap hari sekitar 05.30 WIB sudah mengantar anak sekolah ke Nglipar. Kami berjalan 300 meter ,” katanya.

Tupan sudah mendapat tawaran bantuan pembangunan rumah di lahan barunya sebesar Rp10 juta dari pemerintah. Namun, tawaran itu belum dia terima karena uang untuk menyelesaikan pendirian rumah masih kurang.



“Kakak saya juga secepatnya ingin pindah. Tapi kami tidak ada biaya meski lahan di bawah sudah tersedia,” katanya.

Kepala Kalurahan Kampung, Suparna, mengatakan kesulitan ekonomi memaksa keluarga Tupan dan Winarno menetap di Bukit Kembang.

“Yang lain sudah pada pindah ke bawah,” kata Suparna.

Pemerintah Kalurahan Kampung sudah berupaya mencarikan solusi agar keduanya bisa pindah. Namun, bantuan pembangunan rumah hanya tersedia Rp10 juta. Sementara, memindahkan rumah dan mendirikannya di lahan baru butuh biaya tak sedikit.

“Lahannya sudah ada, tapi biaya untuk membangun ini yang belum ada. Kami tetap berupaya dan salah satunya mencoba meminta bantuan ke Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi Sumber Daya Mineral DIY. Mudah-mudahan segera ada solusi sehingga keduanya bisa pindah ke lokasi yang lebih aman,” katanya.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Cerita Penghuni Terakhir Bukit Kembang Gunungkidul: Tiap Hari Didatangi Kawanan Monyet, Waswas Didatangi Macan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya