SOLOPOS.COM - Temu Harno Wiharjo, penjual gethuk di Pasar Prambanan. (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Kisah inspiratif datang dari seorang penjual getuk

Harianjogja.com, SLEMAN-Temu Harno Wiharjo sungguh merasa beruntung karena keinginan besar menuntaskan sekolah keempat anaknya telah terwujud. Bahkan keinginannya menunaikan ibadah haji juga sudah tercapai dua tahun lalu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Semuanya itu berkat gethuk,” katanya pada Harianjogja.com, Selasa (17/1/2017).

Temu adalah penjual gethuk di Pasar Prambanan. Ia berjualan sudah lebih dari setengah abad. Pundi-pundi rupiah yang terkumpul akhirnya bisa digunakan untuk kebutuhan paling mendasar dalam hidupnya.

Usianya yang kini mulai senja pun tak mengurungkan niatnya untuk mengakhiri usaha yang diwariskan dari ibunya itu. Ia berjualan sejak usia 15 tahun. Setiap hari, ia memproduksi gethuk yang terbuat dari ubi jalar untuk dijual.

Dulu, makanan tradisional khas Jogja ini sangat diminati. Banyak pengunjung pasar yang menyempatkan membeli gethuk buatan Temu untuk buah tangan para saudara di rumah.

Dulu, pedagang gethuk juga masih banyak tetapi kini hanya tersisa Temu seorang di Pasar Prambanan itu. “Yang lain sudah enggak ada [meninggal dunia],” katanya.

Perempuan empat anak ini juga mengakui jika saat ini peminat gethuk semakin berkurang. Dulu yang biasanya dia bisa mengolah 50 kilogram (kg) ubi, kini hanya 20 kg saja. “Kalau [pengunjung pasar] ditawari beli alasannya yang mau dibelikan nggak suka,” ujarnya.

Harga yang dipatoknya pun cukup terjangkau yaitu mulai Rp1.000. Pembungkus gethuk dari daun pisang membuat aroma makanan tradisional itu semakin terasa. Dalam sehari, Temu mengaku hanya meraup untung sekitar Rp10.000 sampai Rp20.000. Ia menyadari untung yang ia peroleh itu terlalu sedikit tetapi ia tetap setia melakoni pekerjaan itu karena tidak tahu harus bekerja apa lagi.

“Tidak apa-apa yang penting anak saya sudah mentas semua. Ada yang jadi tentara sama perawat, tapi dua anak perempuan saya sudah meninggal karena sakit,” kata perempuan yang tinggal di Karangmojo, Purwomartani, Kalasan ini.

Meski hanya untung sedikit, ia tak pernah menyia-nyiakan pekerjaan itu. Baginya bisa bertemu dengan pelanggan dan sesama rekan pedagang adalah hiburan di masa tuanya. Pekerjaannya itu juga selalu mendekatkan dirinya pada sang suami karena setiap hari  berangkat dan pulang pergi ke pasar bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya