SOLOPOS.COM - Warsono di lahan mangrove yang dia kelola. (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Kisah inspiratif, masalah lingkungan yang terjadi di Kretek Bantul diatasi dengan mengembangkan kawasan mangrove.

Harianjogja.com, BANTUL-Pengembangan kawasan mangrove di Kecamatan Kretek, Bantul, tak lepas dari kegigihan petani yang terpaksa meninggalkan impian memiliki lahan padi di dekat sungai. Berikut kisahnya.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Dengan sangat berhati-hati kakek itu melangkah. Kaki rentanya yang hanya beralas sandal jepit melangkahi satu per satu akar bakau yang ia sebut dengan nama Siapi-api. Warsono hampir berumur 75 tahun. Warga Dusun Baros RT 4 RW IV, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul itu masih tegap dan mantap melewati akar Siapi-api yang tegak menjulang.

“Jenis bakau yang ini memang berbeda dengan yang itu. Kalau yang ini Siapi-Api, kalau yang itu Rhizopora,” ujar dia sambil menunjuk beberapa waktu lalu.

Lahan sekitar 200 meter persegi miliknya kini telah dipadati oleh bakau Siapi-Api berusia delapan tahun. Dia sebenarnya ingin memanfaatkan tanah itu sebagai lahan pertanian. Saat pertama kali ia mendapatkan hak pengelolan atas tanah Sultan Ground itu pada 1963, Warsono ingin menanam padi seperti tetangga-tetangganya yang lain. Padahal, tanah itu selalu terendam setiap kali muara Sungai Opak meluap.

“Kan tidak sepanjang tahun terendam,” tutur kakek beranak enam dan bercucu lima itu.

Namun, pada awal 2000-an impiannya berubah. Ketika itu LSM Relung datang ke wilayah Baros untuk melakukan riset tentang ekosistem pantai. Organisasi itu menjadikan Baros sebagai kawasan konservasi dengan tanaman mangrove.

“Awalnya saya ndak tahu, mangrove itu apa,” kata dia.

Dia sempat tak yakin dengan manfaat mangrove. Saat itu ia masih percaya pandan yang ia tanam mampu menjadi penyaring ombak arus muara sungai Opak. Kemudian, pandan itu hanyut ketika banjir besar melanda kawasan selatan Dusun Baros pada 2000. Lebih dari dua hektar lahan persawahan di sisi utara dusun pun terendam luapan air muara tersebut.

“Saat itu, banjir di sini sampai seleher,” ucapnya.

Warsono pun menjajal menanam bakau. Ternyata tanaman itu cukup efektif menahan air. Sejak itu banjir tak lagi datang. Kini, tak lagi ada sesal di hatinya lantaran gagal memiliki sawah. Selain telah memiliki sawah sendiri di utara dusun, ia menganggap mangrove adalah penyelamat tanah kelahirannya dari luapan banjir Laut Selatan.

Bahkan kini ia pun selalu meluangkan sebagian waktunya untuk turut menjaga ekosistem mangrove yang dikembangkan oleh Kelompok Pemuda-Pemudi Baros (KP2B). Sebuah gubuk kecil terletak di pematang sempit. Di situlah Warsono kerap menghabiskan waktu siang hingga sorenya.

“Mbah Warsono adalah salah seorang yang membuat kami bangga. Keteguhannya mengembangkan ekosistem mangrove selalu menjadi semangat bagi kami para pemuda Baros,” tegas Novita, salah satu penggagas berdirinya KP2B.

Warsono adalah satu di antara puluhan pejuang lingkungan pantai Baros. Kini, nyaris tak ada yang identik dari Baros selain mangrove. Target perluasan mangrove mencapai 125 hektare.

“Kami mendukung penuh aksi para pemuda-pemudi Baros. Setidaknya, apa yang Simbah [Warsono] ini lakukan bisa mereka teladani,” ucap Kepala DesaTirtohargo, Supriyanto sembari menepuk pundak Warsono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya