SOLOPOS.COM - Trimah mewarnai batik menggunakan kakinya di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rabu (15/10/2014). (JIBI/Harian Jogja/Arif Wahyudi)

Harianjogja.com, SLEMAN-Ada kisah menggugah di balik perjuangan anak-anak difabel binaan Pusat Rehabilitasi Yakkum.
Meski dihalangi keterbatasan fisik, bukan berarti penyandang difabel hanya berpangku tangan demi bertahan hidup. Bagaimana kisahnya?

Sorot mata para pencari kerja di job fair yang diadakan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rabu (15/10/2014) lalu tertuju pada sosok perempuan yang sedang melukis batik pada kain putih. Mereka terpana saat melihat Trimah, perempuan yang tidak memiliki tangan, mampu menghasilkan batik berkualitas tinggi.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Dengan kedua kakinya, Trimah meliuk-liukkan canting pada kain putih mengikuti motif yang lebih dahulu dipersiapkan. Dia cuma duduk santai, sorot matanya fokus ke depan mengikuti alur jepitan canting pada jemari kaki kanannya yang bergerak pada sketsa yang hendak diwarnai.

Terlahir dengan keterbatasan fisik, Trimah harus menahan beban mental dalam pergaulan. Lebih-lebih dari bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), Trimah menempuh studi di sekolah umum. Semua teman-temannya memiliki kondisi fisik normal, tidak seperti dirinya. Di sekolah, Trimah juga menulis memakai jemari kakinya. Tulisannya cukup bagus.

“Di awal-awal masuk sekolah, teman-teman yang melihat saya pasti memperhatikan kondisi saya. Tapi saya sabar saja, lama-lama juga ada yang baik dengan saya,” papar Trimah kepada HarianJogja.com.

Puncaknya adalah pada 2010 lalu ketika Pusat Rehabilitasi Yakkum membimbingnya. Trimah mencoba mulai belajar membatik. Kebetulan waktu itu ada figur yang membesarkan semangatnya, yakni gurunya membatik. Bambang namanya.

Tidak butuh waktu lama bagi dara kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 24 tahun silam itu untuk menguasai keahlian membatik. Hanya diajari enam bulan, dia sudah bisa mandiri dalam membatik. Karena proses pewarnaannya menggunakan kaki, batik kreasinya diberi nama batik samparan. Samparan adalah bahasa Jawa untuk kaki.

“Tuhan selalu memberi jalan bagi umatnya yang tidak menyerah berusaha. Itulah pedoman saya,” kata Trimah.

Cara memperkenalkan hasil kreasinya pun sudah mengikuti perkembangan zaman. Dunia internet menjadi alternatifnya memasarkan batik. Hasilnya, pasar dengan mudah mengenal batik samparan ciptaannya. Kini impiannya untuk membuat keluarganya berbangga hati bisa terwujud.

“Mungkin ini jalan dari Tuhan untuk saya. Selanjutnya saya ingin menggeluti usaha batik ini agar menjadi lebih besar,” harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya