Jogja
Selasa, 5 September 2017 - 10:55 WIB

KISAH INSPIRATIF : Rangkul Pengrajin Pertahankan Batik Tulis

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Utik Bidayati saat menjadi narasumber dalam talkshow Jogja Fashion Week terkait pemberdayaan perempuan dalam dunia fesyen. (Mayang Nova Lestari/JIBI/Harian Jogja)

Kisah inspiratif mengenai pengusaha yang melestarikan batik tulis.

Harianjogja.com, JOGJA — Utik Bidayati, pemilik Batik Mekar gigih melestarikan keberadaan batik tulis. Ia merangkul perajin perempuan batik tulis. Bersama mereka, Utik optimistis, batik tulis tak akan punah digusur zaman. Terus eksis di dunia fesyen.

Advertisement

Usaha Batik Mekar dirintis oleh orang tua Utik yaitu Sutardja dan Sofia pada 1972. lokasinya berada di Jalan KH Wahid Hasyim No.73 Ngampilan, Jogja. Fokus usaha ini tak sekadar toko yang menjual batik, tapi juga memproduksi batik cap dan tulis dengan pewarnaan sogan.

Waktu berjalan, Batik Mekar pun menjadi jujugan pelancong yang datang ke Jogja. Sayangnya pada 2009, gempuran datang dari batik printing yang membanjiri Jogja. Berbagai produk yang berasal dari Solo, Pekalongan dan Cirebon menggeser keberadaan batik tulis dan cap asli Jogja.

Hingga akhirnya sebelum menginjak tahun 2009, dunia batik tulis dan cap di Indonesia diresahkan dengan kemunculan produk-produk batik tekstil di berbagai wilayah penghasil batik seperti Solo, Pekalongan, hingga Cirebon.

Advertisement

Produksi batik tekstil kian mendominasi dengan jumlah yang banyak dan peredaran yang cepat dikarenakan setiap prosesnya tidak melalui tahapan pengerjaan manual seperti batik tulis namun dengan menggunakan mesin. Batik tulis dan cap seolah tenggelam dengan ketenaran batik tekstil kala itu.

Di titik inilah Utik kemudian terlibat terjun untuk mempertahankan eksistensi batik tulis dan cap asli Jogja.

“Akhirnya 2009 Indonesia mendapat anugrah bahwa batik menjadi World Heritage atau warisan dunia, tentu dengan berbagai syarat khusus, salah satunya yakni adanya unsur pewaris yang tak boleh putus,” kata Utik saat dijumpai Harian Jogja pekan lalu.

Syarat unsur pewaris yang tak boleh putus itulah yang mendorong Utik dan membuatnya yakin mempertahankan keberadaan batik tulis dan cap asli Jogja. Perusahaan yang telah diturunkan kepadanya dan dua orang saudaranya, Arif Wibisono dan Candra Khuriyati menjadi sebuah amanah yang mesti dijaga keutuhannya. Lewat Batik Mekar juga, Utik menemukan jalan ikut melestarikan batik tulis dan cap.

Advertisement

Selain tak ingin mematikan bisnis, Utik juga berharap agar warisan tersebut dapat menjadi bagian dari kekayaan dunia. Akhirnya, jalan yang diambil salah satunya yakni dengan melakukan pemberdayaan terhadap kaum perempuan.

Kaum perempuan dijadikan sasaran karena usaha membatik masih dianggap sebagai usaha pekerjaan yang tidak stabil. Artinya tidak bisa kontinyu seperti pekerjaan di kantor atau di pabrik. Membatik butuh waktu yang banyak, dan perempuan dinilai bisa digandeng untuk mengembangkan usaha dan memastikan produksi terus berjalan.

Dalam lima tahun terakhir Utik berhasil menjangkau sejumlah perempuan di Bantul untuk mendapatkan pembinaan produksi batik tulis. Ada sekitar 30 hingga 40 perajin yang terlibat mengembangkan produk Batik Mekar.

Perajin mayoritas adalah ibu rumah tangga dan pekerja penuh sebagai pembatik, sedangkan perajin lelaki hanya sekitar tujuh orang.

Advertisement

Utik berpandangan perempuan bisa diandalkan untuk menciptakan produk batik tulis yang berkualitas. Meski awalnya Utik harus bekerja keras mendampingi mereka, kini perempuan yang sebagian besar warga Bantul itu cukup bisa diandalkan.

Kemampuan untuk menghasilkan produk berkualitas tak dicapai dengan jalan mudah. “Alhamdulillah seiring berjalannya waktu bisa berjalan, artinya mereka bisa bersama-sama memahami bahwa produk yang dibuat akan sampai ke pelanggan sehingga harus serius dalam menggarapnya. Kualitas adalah kunci dari sebuah bisnis,” kata Utik.

Pendampingan Rutin


Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan saat belajar membatik di Batik Mekar. (Foto-foto: ist/Utik Bidayati)

Advertisement

Kunci dari konsistensi produk yang dihasilkan Batik Mekar adalah pendampingan rutin kepada para perajin. Di tengah kesibukannya Utik selalu mengontrol kualitas produk yang dihasilkan para perajin. Beberapa pekerjaan dilakukan di rumah produksi, dan beberapa juga menjadi pekerjaan yang dibawa pulang oleh pegawainya ke rumah masing-masing.

Lima tahun berjalan, Utik mulai melihat perekonomian perempuan-perempuan yang ia bina tersebut kian membaik. Hal itu tentu tak dapat luput dari perhatian Utik. Upayanya selama ini memang salah satunya yakni menuju pada perbaikan ekonomi masyarakat.

Karya-karya perempuan binaan Utik itu tak hanya dinikmati oleh masyarakat setempat atau Jogja saja. Selain menjadi salah satu tenaga pendidik di Universitas Ahmad Dahlan, Utik pun aktif di dalam organisasi Aisyiyah Divisi Kewirausahaan Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan yang juga menjadi wadah penyalurnya mengembangkan usahanya.

Utik percaya semua perempuan pun dapat berdaya. Lewat dunia fesyen, Utik melangkah untuk memberikan harapan baru pada perempuan-perempuan masa kini.

Mengompori Generasi Muda Mencintai Batik
Utik Bidayati, pemilik Batik Mekar tak hanya memberdayakan perempuan untuk melestarikan batik tulis dan cap asli Jogja. Ia juga gencar berkampanye agar generasi muda lebih mencintai kain batik tulis .

Pekerjaannya sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitah Ahmad Dahlan (UAD) Jogja memberikan peluang untuk sekaligus menyampaikan edukasi tentang batik. Ia tak lelah mengenalkan batik pada generasi muda yang juga menjadi mahasiswanya.

Advertisement

Mereka kerap dibawa ke rumah produksi Batik Mekar untuk belajar membatik di sana.  “Setidaknya mereka memahami bahwa ada budaya kita yang harus dijaga,” kata Utik kepada Harian Jogja belum lama ini.

Utik pun menangkap geliat antusias setiap kegiatan pembelajaran ruang kelas tersebut dilaksanakan. Namun sayangnya, tak banyak waktu yang mereka miliki untuk bergelut dengan canting dan lilin.

Meski belum dapat konsentrasi secara utuh, namun hasilnya cukup memuaskan. Hasilnya ibarat cerminan dari hati kreator yang gembira maka akan terlihat pada hasil karyanya.

Banyak harapan yang ia tanamkan kepada mahasiswa didiknya. Generasi mudalah yang di masa depan menjadi penerus warisan dunia tersebut. Menurut dia dengan menanamkan kecintaan terhadap batik, generasi dapat mengambil peran untuk menjadikan batik sebagai sebuah hasil karya kebanggan negeri.

Tak hanya menggandeng mahasiswanya untuk belajar, kesadaran untuk belajar pun tumbuh dengan sendirinya dari mahasiswa asing yang belajar di UAD. “Mereka datang untuk mengisi waktu sekaligus mengetahui dan belajar budaya Indonesia,” katanya.

Saat ini Utik tak hanya bergerak di dalam kandang saja. Ia tergabung dalam Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). Anggota Iwapi pun mengolah banyak keterampilan, salah satunya yakni membangun komunitas untuk bisa mandiri dari sisi ekonomi yang bisa menghasilkan tambahan dengan menjual aneka jenis produk.

Hal itu menjadi kepuasan tersendiri bagi Utik dan kawan-kawannya di IWAPI. Bahwa perempuan pun sebenarnya dapat aktif mengelola sebuah organisasi yang tak hanya menghasilkan keuntungan kelompok namun juga memberikan manfaat yang besar pada lingkungan masyarakat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif