SOLOPOS.COM - Sunarya mengendarai motor miliknya (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Sunarya mengendarai motor miliknya (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Ketidaksempurnaan fisik memang menghambat seseorang untuk beraktivitas seperti kebanyakan orang lain. Namun, keterbatasan ini tidak menghalangi Sunarya untuk bekerja dan hidup layak seperti kebanyakan orang.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Saat mengendarai sepeda motor, Sunaryo memang terlihat seperti kebanyakan orang normal. Ketidak sempurnaan akan terlihat manakala dia turun. Untuk berjalan kaki, ia harus menggunakan kruk, meskipun hanya satu batang. Kruk itu tidak digunakan untuk menyangga tubuhnya, namun hanya menjadi pegangan agar langkahnya tegak.

Ketika diajak bicara, ia bisa menjawabnya dengan jelas. “Saya memang cacat fisik, tetapi saya bersyukur tidak cacat mental sehingga pikiran dan keinginan saya normal,” katanya tanpa rasa minder, ketika dikunjungi Harian Jogja di rumahnya, Dusun Semaken III Desa Banjararum Kalibawang, Kamis (9/8).

Ia mengakui harus berjuang sejak kecil. Ia dilahirkan di kampung itu pada tahun 1973 dengan nama Timbul Guadi. Nama itulah yang lebih melekat di kalangan tetangganya, hingga saat ini. Kelainan pertumbuhan telah dialami sejak kecil, hingga pasa usia delapan tahun namanya diganti menjadi Sunaryo. Pada umur itulah ia baru bisa berjalan. Memang sangat terlambat, namun sejak bisa berjalan, semangatnya menyala untuk menjalani hidup selanjutnya.

Mengabaikan rasa malu, ia masuk ke SD pada usia sembilan tahun. Selepas lulus, ia sempat masuk ke SLB. “Tapi saya tidak betah di sana, karena bercampur dengan penyandang cacat dengan berbagai kekurangan. Dalam pikiran saya, saya ini bisa berpikir normal sehingga saya ingin bercampur dengan orang normal,” tuturnya.

Sempat mendapatkan pelatihan kerajinan dan bekerja di sebuah yayasan penyandang cacat di Sleman, Sunaryo memilih pulang ke kampung tahun 1997. Ia memilih mulai menekuni dunia yang disukainya sejak kecil, yakni ternak hewan. Hampir setiap hari, ia “dolan” ke pasar melihat perdagangan hewan.

Proses selama beberapa waktu itu ia namakan belajar. “Saya belajar tentang jual beli ayam, kemudian saya mulai praktek, dan saya tekuni sampai saat ini,” jelasnya.

Setiap harinya, ia melayani warga yang ingin menjual ayam. Unggas itu kemudian dibawanya ke pasar dan dijual. Dari laba yang diperoleh, ia bisa menghidupi seorang istri yang dinikahinya tahun 2007 lalu. Bahkan, dari upayanya menabung, ia bisa membeli sebuah sepeda motor, yang ditambah aksesori agar bisa dikemudikannya.

Sunaryo mengungkapkan dirinya memang tidak pernah minder, kecil hati apalagi putus asa dengan kondisinya. Sebaliknya, ia malah memiliki semangat hidup yang menurutnya lebih dari orang normal. Seringkali ia mengaku sedih melihat banyak orang normal yang putus asa menghadapi hidupnya.

Satu hal yang menjadi semangatnya untuk berjuang adalah kesadaran bahwa ia tidak mungkin bergantung pada orang lain terus menerus. “Kalau saya hanya mengandalkan orang tua, bagaimana jika mereka pergi nanti. Pikiran inilah yang menyemangati saya untuk berjuang hidup mandiri,” pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya