Jogja
Jumat, 16 Maret 2012 - 10:30 WIB

KISAH SMA "17": Perjuangan Terakhir Sekolah Tentara...

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - BERJUANG—Suyadi, Kepala Sekolah SMA "17" menunjukkan foto siswanya saat belajar di trotoar beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/Rina Wijayanti)

BERJUANG—Suyadi, Kepala Sekolah SMA "17" menunjukkan foto siswanya saat belajar di trotoar beberapa waktu lalu (JIBI/Harian Jogja/Rina Wijayanti)

Letak Jalan Tentara Pelajar di Jetis, Jogja barangkali sudah lekat di masyarakat Jogja. Namun tak banyak yang tahu nama jalan tersebut diberikan lantaran terkait erat dengan keberadaan SMA “17” di daerah itu yang dahulu melahirkan banyak pelajar didikan tentara zaman kemerdekaan. Kini sekolah yang menyimpan banyak sejarah dan perjuangan tersebut berada di ujung tanduk.

Advertisement

Keberadaan SMA “17” sendiri berawal sebelum 1958 silam, saat pemilik yayasan sekolah berinsiatif melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia pasca Proklamasi 1945. Dahulu, bangunan yang tembok depannya berbahan batu khas bangunan tempo dulu itu digunakan sebagai asrama para tentara Indonesia yang berjuang melawan penjajah.

Setelah proklamasi, pendiri sekolah masih menyimpan visi misi melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Salah satu caranya adalah menghasilkan manusia-manusia unggul dari sisi SDM, maka dibentuklah SMA “17” yang akta pendiriannya keluar pada 1958. Yayasan bermaksud menyumbang pembangunan dari sisi pendidikan guna melawan kebodohan.

Advertisement

Setelah proklamasi, pendiri sekolah masih menyimpan visi misi melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Salah satu caranya adalah menghasilkan manusia-manusia unggul dari sisi SDM, maka dibentuklah SMA “17” yang akta pendiriannya keluar pada 1958. Yayasan bermaksud menyumbang pembangunan dari sisi pendidikan guna melawan kebodohan.

“Visinya sangat mulia sekali, melanjutkan pembangunan mengisi kemerdekaan. Pendirinya ingin menyumbang dari sisi pendidikan lewat sekolah,” kenang Suyadi, Kepala Sekolah SMA “17” saat bercerita kepada Harian Jogja di bawah pohon belakang sekolah, Kamis (16/3).

Dijelaskan Suyadi, tenaga pengajarnya saat itu diambil dari tentara-tentara yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi.  “Mereka mengajar adik-adiknya di sekolah ini,” tutur lelaki bertubuh kurus itu.

Advertisement

Dulu jumlah ruang kelasnya tak sebanyak seperti sekarang lantaran fungsi awalnya hanya sebagai asrama. Pertama didirikan hanya ada tujuh kelas, namun pada era 1990-an saat masa keemasanya jumlahnya meningkat hingga 45 kelas. Ribuan pelajar di DIY dan luar daerah bersekolah di sana. Tak terhitung sudah berapa ribu alumni yang dahulu pernah belajar di sekolah yang luasnya sekitar 5.558 meter persegi ini.

Masa emas itu sempat dirasakan Suyadi sejak dirinya mulai mengajar sebagai tenaga honorer pada 1989. Lantaran kecintaannya pada sekolah ini pula, sejak ia diangkat sebagai PNS pun ia lebih memilih mengajar di sekolah swasta tersebut.

Kini pahlawan tanpa tanda jasa itu hanya dapat mengenang kejayaan sekolahnya. Setelah pada 2009 tragedi itu mulai datang. Pasca meninggalnya Harjono, ketua yayasan sekolah. Ahli waris tanah tersebut Beda Saktirin yang merupakan anak Harjono menuntut kepemilikan lahan.

Advertisement

Terakhir beberapa waktu lalu, saat ahli waris menutup pagar sekolah dengan seng dan menenggat waktu sepekan ke depan agar proses belajar mengajar di sekolah itu dipindah ke tempat lain.

Padahal saat ini siswa kelas III tengah menghadapi ujian. Ahli waris mengklaim telah menjual tanah tersebut sejak 2008.

“Dulu 2009 sekolah ini juga ditutup seng, gentengnya dilepas. Pak Harjono [mantan Ketua Yayasan] ayahnya Pak Beda itu baik enggak seperti anaknya. Padahal kakaknya Pak Beda itu Ibu Rina Hartati itu juga guru bisa enggak dia nasihati adiknya, supaya tahu pentingnya dunia pendidikan,” kesalnya.

Advertisement

Monica Marliandini salah satu siswa sekolah tersebut cemas bila sekolahnya nanti hanya tinggal kenangan. Apalagi menurutnya, sekolah tersebut sangat berarti baginya. Di sanalah ia menimba ilmu dan bercengkerama saban hari dengan teman-temannya. “Semoga sekolah ini enggak dipindah, apalagi kami sudah sangat akrab. Di sinikan sekolahnya kecil jadi kebersamaan itu sangat terasa,” harapnya. (ali)

Advertisement
Kata Kunci : SMA 17
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif