SOLOPOS.COM - Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas (kiri), Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta (dua kiri) dan Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar (kanan) saat berdiskusi dengan wartawan tentang RUU Jabatan Hakim, di Jogja, Sabtu (10/12/2016). (Maya Herawati/JIBI/Harian Jogja)

Komisi Yudisial (KY) mengingatkan agar semua pihak menyorot proses ini hingga kelak disahkan

Harianjogja.com, JOGJA–Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim saat ini masih digodok di DPR. Komisi Yudisial (KY) mengingatkan agar semua pihak menyorot proses ini hingga kelak disahkan.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Wakil Ketua Komisi Yudisial, Sukma Violetta menyebut hal pertama yang disorot KY adalah soal status hakim. Dalam RUU Jabatan Hakim, DPR hendak mengubah status semua hakim di negeri ini menjadi pejabat negara.

Selama ini, menurut Sukma, hakim yang menyandang status sebagai pejabat negara hanyalah yang setingkat dengan pimpinan lembaga negara, seperti Hakim Agung.

“Hal ini juga yang menjadi pembahasan Kementerian Keuangan. Karena jika itu terjadi maka akan berdampak pada biaya fasilitas yang akan dikeluarkan negara,” ujar Sukma dalam Media Gathering RUU Jabatan Hakim di Restoran Parsley, Jalan Kaliurang, Jogja, Sabtu (10/12/2016).

Ada sebanyak 8.000 lebih hakim di Indonesia termasuk hakim ad hoc dan hubungan industrial. Jika mereka yang sebelumnya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) tiba-tiba menjadi pejabat negara, dikhawatirkan anggaran negara akan bengkak.

Sukma menyebutkan ada konsekwensi fasilitas terhadap hakim pejabat negara, di antaranya remunerasi gaji, fasilitas kesehatan dan layanan protokoler.

Pasal lain yang disorot dalam RUU yang keluar atas inisiatif DPR ini adalah soal rekrutmen. Selama ini sistem pengelolaan hakim di Indonesia hanya satu atap di bawah Mahkamah Agung, dalam RUU Jabatan Hakim, sistem akan berubah menjadi shared responsibility atau pembagian tanggung jawab.

Dalam RUU itu, rekrutmen hakim akan dilaksanakan bersama MA dan KY. Namun KY justru mengusulkan mekanisme perekrutan dilakukan melalui panitia seleksi (pansel).

Yang juga menjadi sorotan krusial adalah soal kewenangan pengawasan hakim. Sukma menyebut saat ini pengawasan dalam sistem satu atap dilakukan oleh MA. “Kami meminta penilaian kinerja diubah menjadi profesionalisme. Di dalamnya ada cek integritas, tidak melanggar kode etik, tidak menerima suap, dan tidak selingkuh,” katanya seraya menambahkan kasus perselingkuhan hakim kini tengah menanjak jumlahnya.

Sayangnya Sukma tak menyebut jumlah rincinya. Pengawasan hakim dalam RUU Jabatan Hakim meliputi teknis yudisial, kinerja dan perilaku. Pembagiannya adalah kinerja diawasi oleh MA dan perilaku oleh KY. Dalam hal ini KY mengusulkan mekanisme pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh KY.

“Kami [KY] berharap proses RUU ini bisa bergulir dan mendapat pengawalan dari masyarakat, ada banyak pasal yang harus dikritisi,” kata Sukma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya