SOLOPOS.COM - Ilustrasi gerakan koperasi (Bisnis.com)

Akademisi kritisi pajak koperasi.

Harianjogja.com,SLEMAN–Sejumlah akademisi terutama praktisi di bidang koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) mengkritisi pemberlakuan pajak bagi koperasi yang disamakan dengan jenis usaha pada umumnya dalam acara Seminar dan Lokakarya Nasional dengan tajuk Kebijakan Perpajakan dalam Mendukung Eksistensi Koperasi sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia, di Hotel Sheraton, Jalan Solo, Depok, Sleman, Rabu (6/12/2017).
Hasil semiloka tersebut akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan dengan harapan peninjauan ulang kebijakan persamaan pajak antara koperasi dengan jenis usaha lainnya.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Asisten Deputi Pembiayaan Non Bank dan Perpajakan Deputi Bidang Pembiayaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Suprapto menyatakan, saat ini jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat 152.312 lembaga, sebanyak 116.819 di antaranya telah memiliki NPWP. Dari jumlah koperasi yang memiliki NPWP tersebut, hanya sekitar 8.000 koperasi yang bersedia membayar pajak.

“Hanya 8.000 koperasi yang sudah membayar pajak dari yang punya NPWP 116.819. Kenapa hanya 8.000? Tadi sudah disebutkan orang [koperasi] pada ketakutan [bayar pajak]. Jumlah yang dibayarkan pajak koperasi itu sekitar Rp2 triliun dan ini meningkat terus sepanjang tahun,” terangnya dalam seminar tersebut, Rabu (6/12/2017).

Ia menyoroti perpajakan atas koperasi yang mengarah pada kapitalisme. Mengingat perpajakan koperasi mengacu pada UU No.36/2008, padahal yang membuat UU perpajakan pertama kalinya adalah orang Amerika Serikat yang menganut paham kapitalis. Maka jika pajak dimasukkan dalam koperasi maka besar kemungkinan tidak ada hasil karena berbeda persepsi filosofi. Aturan perpajakan yang ada saat ini tidak bisa serta merta diterapkan di koperasi. “Karena konsultannya orang Amerika, maka jadilah UU perpajakan seperti saat ini,” ujar dia.

Upaya yang perlu dilakukan sebelum adanya revisi aturan perpajakan antara lain, kata Suprapto, koperasi melaksanakan perubahan AD/ART dengan memutuskan setiap transaksi pembayaran dari anggota tidak dibukukan sepenuhnya sebagai pendapatan jasa namun dipecah menjadi dua yaitu pendapatan jasa dan simpanan wajib. Selain itu, koperasi sebaiknya tidak mencatat adanya penerimaan barang dari anggota setiap transaksi hasil perkebunan dan pertanian. Karena jika dicatatkan akan dianggap sebagai hasil koperasi sehingga atas transaksi itu akan dikenakan pajak penghasilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya