Jogja
Kamis, 30 Agustus 2012 - 09:54 WIB

KORBAN BANJIR LAHAR DINGIN: Tak Ada Padi Batu Pun Jadi...

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah perempuan lanjut usia di Dusun Ganasari Banjarasri Kalibawang menggendong batu dari Kali Progo untuk dijual, Rabu (29/8). Kegiatan itu dilakukan setelah mereka tidak bisa bekerja di sawah karena lahan pertanian tertimbun pasir lahar dingin Kali Progo (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Sejumlah perempuan lanjut usia di Dusun Ganasari Banjarasri Kalibawang menggendong batu dari Kali Progo untuk dijual, Rabu (29/8). Kegiatan itu dilakukan setelah mereka tidak bisa bekerja di sawah karena lahan pertanian tertimbun pasir lahar dingin Kali Progo (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Banjir lahar dingin di Kali Progo masih menyisakan duka bagi warga Banjarasri Kalibawang. Mereka yang terdampak bencana ini, bukan hanya pemilik lahan sawah yang kini tertutup pasir lahar dingin.

Advertisement

Pihak yang juga ikut terkena dampak adalah para buruh tani, yang kini menjadi tidak bisa bekerja karena tidak ada kegiatan pertanian.

Dengan langkah terseok-seok, Tugirah berjalan di atas bebatuan dan pasir, tepi Kali Progo di Dusun Ganasari Banjarasri Kalibawang. Tubuh rentanya tak lagi bisa berjalan tegak. Selain usia yang telah memasuki 70 tahun, ia juga terbebani dengan barang di gendongannya. Dengan sebuah kain selendang kecil, ia membawa dua batu.

Satu batu digendong di belakang, satu lainnya dipegang di pinggang kirinya, masing-masing berukuran buah kelapa. “Memang berat, jalannya jadi pelan dan terseok-seok,” ungkap Tugirah, kepada Harian Jogja, Rabu (29/8).

Advertisement

Sudah lebih dari satu tahun, perempuan lanjut usia yang hampir punya buyut itu melakoni pekerjaan baru, mengangkut batu dari Kali Progo. Hal itu dilakukannya setelah sawah di kawasan itu terkena luapan banjir lahar dingin Kali Progo hingga tidak bisa diolah lagi.

Tugirah yang semula menjadi buruh tani, menjadi tidak bisa bekerja lagi. Mau bekerja ke luar daerah, ia tidak mampu lagi karena kondisi badan yang tidak lagi muda. “Dulu saya masih bisa tandur [tanam padi] dan ani-ani [panen padi] tapi yang lokasinya dekat, jadi ngangkutnya dekat. Sekarang tidak bisa lagi karena sawah di sini tidak bisa ditanami padi,” ungkapnya.

Padahal, ia harus menghidupi dirinya. Untuk meminta kepada anak cucu, ia tidak tega karena mereka juga telah memiliki kehidupan masing-masing. Karena itulah, ia berupaya mencari penghasilan dengan menjadi penambang batu, seperti yang dilakukan kebanyakan buruh tani di wilayah itu.

Advertisement

Mereka mengambil batu glondongan dari sungai ke rumah, untuk dijual. Batu glondongan dijual seharga Rp80.000 per rit (mobil bak terbuka) sedangkan jika dipecah menjadi batu split, harganya Rp105.000 per rit.

Lasirah, 35 penambang lain mengatakan untuk mengumpulkan batu glondongan satu rit, dibutuhkan waktu hingga hingga empat hari jika dikerjakan sendiri oleh penambang perempuan. Sedangkan untuk menghasilkan batu split satu rit, butuh waktu dua minggu, karena harus memukul batu agar pecah menjadi batu kecil.

“Batu itu pun tidak langsung laku, tetapi menunggu pembeli yang tidak tentu. Sekarang ini untung ada proyek pembangunan jalan sehingga batu kami dipasok ke sana. Kalau belum ada pembeli, batu hanya ditumpuk di halaman rumah,” tuturnya.

Ia berharap, ada upaya Pemerintah untuk mengembalikan lahan sawah yang terkena banjir lahar dingin di wilayah itu agar bisa ditanami padi. Pasalnya, selain pemilik lahan yang kehilangan sawah, para buruh tani juga kehilangan mata pencaharian.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif