SOLOPOS.COM - Kegiatan pendidikan dasar anggota Kapalasastra FIB UGM di Jobolarangan, Tlogo Dlingo, Karanganyar, Desember 2016 lalu. (Foto istimea/Dokumentasi pribadi Kapalasastra FIB UGM)

Mahasiswa pecinta alam bukan seadar bertahan hidup di alam terbuka, tetapi juga ilmu agar cinta pada alam tak merugikan diri sendiri.

Harianjogja.com, KULONPROGO-Orang yang berkegiatan di alam sudah terhukum alam dengan sendirinya tanpa perlu kekerasan yang disengaja. Itulah kenapa tak semua organisasi mahasiswa pecinta alam (mapala) lekat dengan praktik kekerasan meski isu itu sulit untuk dimentahkan.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Sistem pendidikan mapala sedang jadi sorotan belakangan ini pasca meninggalnya 3 peserta diksar Mapala UII. Tragedi ini jadi preseden buruk sehingga asumsi dan cemooh pun bertebaran.

Adapula yang beranggapan bahwa kekerasan dalam pendidikan merupakan peninggalan turun-temurun kalangan mapala. Gendon Subandono, salah satu anggota mapala Kapalasastra FIB UGM membantah tegas hal ini.

Pria yang kini awam dikenal sebagai penggagas olahraga paralayang di Indonesia ini ingat dirinya pernah menyelenggarakan pendidikan dasar (diksar) pada tahun 1982 silam. Menurutnya, tak ada doktrin tertentu yang mengarah pada senioritas. Tak ada pula penekanan secara fisik ataupun kekerasan.

“Di lingkungan kepencintalaman di UGM, saya belum pernah mendengar adanya tradisi kekerasan dengan menendang atau memukul,” ujar alumni Arkeologi UGM ini kala berbincang dengan Harianjogja.com pada Kamis (26/1/2017).

Pendidikan kepencintalaman dianggapnya sarana membina mental dan fisik secara bermartabat. Karena itu, hukuman yang diterapkan bermanfaat bagi diri peserta seperti push up atau sit up. Dari sisi lain, kemampuan fisik dan mental sangat diperlukan sebagai modal kegiatan di alam sehingga tetap harus dilatih.

Sementara itu, kegiatan di alam juga butuh ilmu yang dalam serta persiapan matang. Tak bisa hanya semata-mata mengandalkan otot. Karena pada dasarnya menjadi mapala adalah memahami ilmu agar cinta pada alam tak merugikan diri sendiri.

Karena itulah pendakian gunung butuh kompas dan ilmu navigasi, penelusuran gua butuh kemampuan rigging, helm dan senter, dan masih banyak kebutuhan ilmu lainnya.

Kerasnya pendidikan mapala menjadi representasi keras dan ganasnya alam. Anggota baru dipaksa bisa menghadapi berbagai kondisi buruk. Mapala diharuskan tangkas, bijak, dan responsif atas berbagai kondisi darurat di alam. Itulah mengapa mapala harus kuat berlari, kuat mentalnya, dan fasih betul akan ilmunya.

Apriadi Ujiarso mengenang kala ia mengikuti diksar di Bebeng, Gunung Merapi pada 1985 silam. Saat itu, ia masih diajari pemetaan dengan kompas jadul, rappling di salah satu tiang kampus yang seadanya. Menurutnya, suasana akrab terjalin di antara senior dan peserta diklat meski kemudian mendadak berubah tegang saat fase survival.

“Beberapa batang rokok terdeteksi panitia, akhirnya diambil,” ujarnya geli mengenang masa itu.

Namun, kegembiraannya ketika membuat sayur dari tanaman begonia dan meminum tetes embun masih berbekas jelas di ingatan. Uus, demikian ia kerap disapa, menjadi angkatan pertama yang didiksar langsung oleh seniornya di Kapalasastra.

Tiga angkatan sebelumnya merasakan dilatih langsung oleh Kopassus dalam menjalani diksarnya di Kali Adem, lereng selatan Gunung Merapi. Tapi toh senior-seniornya menyatakan tak pernah ada hukuman fisik dari para punggawa terdepan negara itu.

Tak sedikit mapala yang mengenang diksar yang dijalaninya dengan penuh rasa humor. Ada yang harus berlari melewati 2 bukit untuk mencapai perkampungan terdekat dan kemudian mencari warung demi sebatang rokok.

Ada pula yang tak sengaja bertemu petani di tengah hutan kala masa survival. Karena iba, si petani kemudian memberikan pepaya pada si peserta diksar ini untuk menahan rasa laparnya. Pepaya yang kemudian harus dibayar dengan 150 push up dan 150 sit up karena terus ketahuan oleh seniornya. Untungnya, hukuman yang dijalani tak lantas membuat pingsan.

Aris Tundung Hermawan, alumni Sastra Inggris UMG angkatan 1999, anggota organisasi yang sama mengatakan kekerasan yang diterima hanya berupa verbal. Itupun bukan dalam bentuk bentakan atau teriakan, tekanan verbal hanya disampaikan lewat sindiran ketika peserta diksar dirasa menyalahi aturan atau tak berkompeten.

Meski memang setiap mapala tak punya acuan pelaksanaan diksar yang sama namun penerapan safety procedur adalah sebuah keharusan. Karena itulah butuh pendamping peserta yang berkompeten menilai kondisi cuaca dan kemampuan diri. Pendampinglah yang tahu kapan harus menghentikan atau melanjutkan kegiatan.

Senior dalam mapala bukan patung yang tak punya hati sehingga bisa menghabisi nyawa sesama manusia. Dari realita keras yang harus dihadapi itu biasanya muncul solidaritas yang demikian kuat antar sesama mapala. Itulah sebabnya tak ada istilah alumni mapala karena keanggotaannya bersifat seumur hidup.

Sebagaimana ujaran aktivitas terkenal Indonesia, Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. “Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya