Jogja
Minggu, 5 Februari 2017 - 00:20 WIB

Mahfud MD Sebut Masalah Intoleransi Muncul karena Kesenjangan Sosial

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mahfud MD saat menjadi pembicara dalam Seminar Kebangsaan di Aula Homestay Kusuma, Bantul, Sabtu (4/2/2017) siang. (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Mahfud MD menilai Kasus intolerasi yang terjadi selama ini dinilai tidak terkait dengan persoalan sentimen Suku, Agama, ras dan Antar Golongan (SARA)

Harianjogja.com, BANTUL–Kasus intolerasi yang terjadi selama ini dinilai tidak terkait dengan persoalan sentimen Suku, Agama, ras dan Antar Golongan (SARA) tertentu. Persoalan tersebut lebih merupakan bentuk masih kurang berjalannya demokrasi dan pemerataan perekonomian.

Advertisement

Kesimpulan itu disampaikan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat menjadi pemateri utama dalam acara Seminar Kebangsaan yang digelar di Aula Homestay Kusuma, Jl. Parangtritis Km 6,5 Kecamatan Sewon, Sabtu (4/2/2017) siang.

Dalam seminar yang bertemakan Dengan Semangat Bhineka Tunggal Ika Pancasila Menjaga Keutuhan NKRI itu, persoalan intoleransi yang menjadi topik pembicaraan publik akhir-akhir ini sejatinya harus disikapi secara dewasa. Menurut ahli hukum asal Madura itu, salah besar jika masyarakat selalu mengaitkan persoalan intoleransi tersebut dengan isu-isu SARA. “Menurut saya, ini bukan soal SARA. Kasus-kasus itu tak lebih dari sekadar karena tuntutan kesenjangan sosial saja,” tegasnya.

Advertisement

Dalam seminar yang bertemakan Dengan Semangat Bhineka Tunggal Ika Pancasila Menjaga Keutuhan NKRI itu, persoalan intoleransi yang menjadi topik pembicaraan publik akhir-akhir ini sejatinya harus disikapi secara dewasa. Menurut ahli hukum asal Madura itu, salah besar jika masyarakat selalu mengaitkan persoalan intoleransi tersebut dengan isu-isu SARA. “Menurut saya, ini bukan soal SARA. Kasus-kasus itu tak lebih dari sekadar karena tuntutan kesenjangan sosial saja,” tegasnya.

Dari pengamatannya, kasus-kasus intoleransi itu, terang Mahfud, muncul lantaran tingginya angka kesenjangan sosial yang terjadi. Tak hanya di aspek perekonomian saja, kesenjangan itu kini sudah merambah ke hampir seluruh aspek kehidupan. “Contohnya saja pendidikan,” tambahnya.

Berdasarkan data yang ia miliki, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diklaim mencapai 5% ternyata justru diikuti oleh tingginya angka kesenjangan. Dikatakannya, dari 50% lapangan usaha yang ada, hanya mampu menyerap sekitar 1 juta orang tenaga kerja.

Advertisement

Begitu pula saat menyinggung suburnya pertumbuhan sejumlah organisasi massa (ormas) yang dinilai radikal. Banyaknya massa organisasi itu bukan didasari atas loyalitas mereka terhadap organisasi tersebut.

Dikatakannya, kebanyakan massa hanya mendompleng organisasi itu untuk menyuarakan protes mereka terhadap kesenjangan itu saja. Sedangkat terkait dengan ideologi, ia percaya massa tidak akan terpengaruh.

Itulah sebabnya, ormas-ormas tersebut tak perlu dikhawatirkan akan mempengaruhi ideologi kebangsaan. Persoalan terpenting yang harus dicari solusinya saat ini adalah penyetaraan dan pemampatan jarak kesenjangan sosial tersebut.

Advertisement

“Saya percaya, semakin tinggi angka kesenjangan, semakin kuat pula posisi ormas-ormas itu. Saya khawatir, semakin besar pula nantinya angka intoleransi,” ucapnya.

Terkait hal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Susetiawan yang juga didapuk sebagai pemateri menjelaskan, persoalan intoleransi itu seharusnya sudah bisa diselesaikan sejah tingkat pedesaan.

Pasalnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat memiliki kendali penuh atas isu-isu yang berkembang di sekitar mereka. “Melalui rembug desa yang optimal, saya rasa semua masalah bisa diselesaikan kok. Di sinilah sebenarnya letak spirit demokrasi pancasila,” ucapnya.

Advertisement

Ia mencontohkan, kasus intoleransi yang baru-baru ini mencuat di Bantul, tepatnya di Kecamatan Pajangan. Dinilainya, penyelesaian kasus melalui musyawarah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul cukup tepat.

“Jadi semua persoalan itu [intoleransi] akarnya hanya ada persoalan kemanusian saja. Bagaimana manusia satu menghargai hak-hak manusia yang lain,” simpulnya.

Seperti diketahui, dua tahun lalu Wahid Foundation sempat menobatkan DIY sebagai daerah paling tidak toleran nomor dua se-Indonesia dengan jumlah kasus mencapai 21 kasus dari total 154 kasus se-Indonesia di tahun itu. Setahun berikutnya, posisi DIY bergeser sedikit lebih baik di urutan keempat dengan jumlah 10 kasus.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif