Jogja
Rabu, 8 Juni 2011 - 09:15 WIB

Mbah Gimo tetap mandiri di usia 100

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Umur bukan halangan untuk berkarya. Di usianya yang lebih dari 100 tahun, Mbah Gimo, warga Dusun Sembungan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, masih setia menggeluti profesinya sebagai pedagang slondok lanting keliling.
   
Gimo seakan membantah pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X saat berbicara di acara pengukuhan Pengurus Komisariat Daerah (Komda) Lansia DIY di Kompleks Kepatihan Danurejan, Jogja, Selasa (31/5) pekan lalu.
   
Saat itu, Gubernur menyatakan 29.724 orang lanjut usia di DIY berada dalam kondisi tidak produktif. Persoalan itu akan membawa implikasi terhadap berbagai aspek perencanaan pembangunan, seperti bidang ekonomi dan sosial.
   
Kaki Gimo memang tak sekuat dulu lagi. Tubuhnya pun tak sekekar puluhan tahun lalu tetapi semangatnya masih sama seperti saat pertama ia memutuskan berjualan slondok keliling. Dengan langkah tegap, ia berjalan kaki keluar masuk kampung menyambangi para pelanggannya.
   
Gimo juga selalu memikul krombong sendiri. Asal tahu saja, wadah slondok pikulan ini cukup berat, sekitar setengah kuintal. “Sudah biasa saya bawa kemana-mana. Tidak terasa berat, kalau capek ya istirahat,” ujar Mbah Gimo dengan artikulasi kata yang masih sangat jelas, Selasa (31/5) malam.
   
Selain berkeliling desa, Mbah Gimo juga kerap ngetem di setiap acara hiburan. Ia tak pernah absen jika ada acara dangdut atau hiburan lain di sekitar kampungnya. Informasi hiburan ia dapat dari teman-temannya sesama pedagang keliling, termasuk saat konser Iwan Fals di Lapangan Wukirsari, Selasa pekan lalu itu.
   
Dengan penuh harap, Mbah Gimo menggelar tenda kecil dari plastik dengan penegak ranting kayu. Disinilah ia duduk sambil membungkus dagangannya. Sesekali ia tampak tersenyum melayani pembeli. Ia pun mematok harga murah, hanya Rp1.000 per bungkus plastik. Dagangannya pun banyak diserbu pembeli.
   
Saat ditanya umur oleh pembeli, Mbah Gimo tampak tenang menjawabnya. “Saya sudah seratus lebih tapi saya masih kuat. Alhamdulillah saya sehat dan bisa cari nafkah sendiri,” ujarnya sembari tersenyum. Kepada Harian Jogja ia mengisahkan sedikit cerita kehidupannya. Ia mengaku pernah menikah sebanyak lima kali. Istri pertama ia nikahi saat masih muda namun beberapa tahun kemudian pergi tanpa pamit ke Jawa Barat. Pernikahannya pun berakhir.
   
Beberapa tahun kemudian Mbah Gimo menikah lagi dengan isteri kedua tetapi ia lupa waktu dan tanggalnya. Gimo hanya ingat saat itu masih gegeran Belanda. Beberapa lama mengarungi bahtera rumah tangga, ia kembali diuji. Istrinya jatuh sakit. Lama tak kunjung sembuh, ia pun menikah lagi dengan istri ketiganya.
   
Sampai disini ia tak mengisahkan lagi apa yang terjadi dengan istrinya. Matanya tampak sayu dan termenung. “Yang jelas saya menikah lagi dan terakhir menikah dengan istri saya yang sekarang. Sudah lima kali. Anak saya satu,” terang Mbah Gimo pendek.
   
Mengenai kondisi Gunung Merapi ia pun mengaku sangat bersyukur karena rumahnya tidak rusak karena erupsi. “Sempat mengungsi namun sekarang sudah tinggal dirumah. Pengalaman saya, letusan kemarin yang paling besar,” kata Mbah Gimo.
   
Puluhan tahun lalu sebelum menjadi penjual keliling, Gimo sempat merasakan kehidupan mapan. Ia menjadi guru kelas lima dan enam sekolah rakyat pada dekade 1930-an. Saat itu, profesi guru sangat bergengsi dan dihormati apalagi guru pribumi saat itu masih langka. Penghasilannya terbilang cukup untuk kebutuhan sehari hari meski tidak terlau banyak.
   
Sampai akhirnya pada 1948 beralih menjadi pedagang keliling sampai sekarang. “Dulu saya jualan naik dokar sampai ke Parakan, Temanggung. Sekarang jarak dekat saja di sekitar desa karena jalan kaki,” papar Mbah Gimo.(Wartawan Harian Jogja/Sumadiyono)

HARJO CETAK

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif