SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan terhadap anak (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Rifka Annisa rilis kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2017.

Harianjogja.com, JOGJA–Pemberitaan media dinilai belum ramah terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Peliputan media terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak di Jogja dipandang masih banyak bermasalah.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annisa dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogja mencatat pemahaman jurnalis masih minim tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Manajer Humas dan Media Rifka Annisa, Diferentia One Muharomah, mengatakan lembaganya punya pengalaman ketika berinteraksi dengan sejumlah jurnalis di DIY.

Interaksi Rifka dan jurnalis itu berupa diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan sejumlah wartawan. “Perspektif pemberitaan jurnalis tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak belum clear,” kata Diferentia One dalam diskusi refleksi akhir tahun bersama sejumlah jurnalis di kantor AJI Jogja, Jumat(22/12/2017) melalui rilis yang diterima harianjogja.com.

Pemahaman yang belum rampung tentang isu itu, kata One tergambar dari bagaimana jurnalis mewawancarai korban kekerasan seksual. Beberapa jurnalis tidak sensitif dan tidak berempati pada korban melalui pertanyaan-pertanyaan yang cenderung menyudutkan korban. Mereka cenderung menjadikan korban kekerasan seksual sebagai objek pemberitaan, tidak benar-benar mendengarkan dan memahami persoalan dengan baik.

Rifka mencontohkan tahun ini di Jogja terdapat pemberitaan yang menstigma korban kekerasan seksual oleh guru sekolah terhadap korban di bawah 18 tahun. Sebuah media massa di Jogja menurunkan berita dengan mengutip narasumber yang menyudutkan korban kekerasan seksual.

Pendapat narasumber itu menyebutkan korban yang masih anak-anak itu bisa saja suka sama suka dengan guru atau pelaku pelecehan seksual. “Sejumlah jurnalis kurang punya keterampilan mendengarkan apa yang dialami korban. Misalnya ketika korban mengeskpresikan kesedihan, jurnalis belum punya cukup kemampuan untuk menanganinya. Ada teknik-teknik khusus yang mestinya dikuasai, misalnya bersikap tenang dan tidak membuat korban semakin trauma,” kata One.

Ketua AJI Jogja, Anang Zakaria mengatakan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat penting untuk diliput sebagai isu publik. Tapi, sayangnya banyak jurnalis tidak paham bagaimana mengangkat isu ini sebagai isu publik. Sebagian jurnalis malah belum pernah membaca kode etik jurnalistik sehingga sejumlah pemberitaannya melanggar kode etik jurnalistik. Padahal kode etik itu sangat penting sebagai panduan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik.

Jurnalis, kata Anang seharusnya lebih meningkatkan keterampilan dalam melakukan reportase dan berempati pada korban. “Dalam banyak kasus pemberitaan, korban kekerasan seksual justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh pemberitaan di media massa,” kata Anang.

Sebagai organisasi profesi jurnalis, AJI Jogja punya perhatian cukup besar terhadap isu ini seiring dengan misi AJI untuk meningkatkan profesionalitas jurnalis lewat peningkatan kapasitas atau keterampilan melakukan liputan.

Dalam diskusi itu, AJI Jogja dan Rifka Annisa juga membedah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam setahun terakhir. Rifka mencatat terdapat 287 kasus kekerasan seksual pada Januari-Desember 2017. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun ini tidak bergeser dengan tahun-tahun sebelumnya. Kekerasan itu di antaranya meliputi kekerasan terhadap isteri, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam keluarga, pelecehan seksual dan perkosaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya