Jogja
Sabtu, 18 Juni 2011 - 09:30 WIB

Membuat TPA Piyungan tak cepat penuh...

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mengubah persepsi masyarakat untuk peka terhadap lingkungan memang bukan perkara gampang. Tak hanya butuh imbauan dan sosialisasi, lebih dari itu masyarakat butuh contoh dan teladan serta jejaring.

Rahmad Tobadiyana, 45, Ketua Jejaring Pengelola Sampah Berbasis Masyarakat cabang Bantul, menceritakan perjuangannya membangun jejaring di masyarakat untuk bersahabat dengan sampah.

Advertisement

Motivasinya kata lelaki asal Serut, Palbapang Bantul, itu sederhana. Bagaimana memperpanjang usia tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan agar tak cepat penuh. Dorongan lainnya, yang pasti memelihara kebersihan lingkungan.

Tak dinyana, baru berdiri dua tahun silam, kini ia sudah mampu merangkul sebanyak 42 kelompok jejaring pengelola sampah.

Advertisement

Tak dinyana, baru berdiri dua tahun silam, kini ia sudah mampu merangkul sebanyak 42 kelompok jejaring pengelola sampah.

Satu kelompok beranggotakan 15-20 orang, tersebar di berbagai Kecamatan di Bantul. Puluhan kelompok itu kini memproduksi ratusan hingga ribuan produk kerajinan dari berbagai sampah plastik.

Kerajinan yang dihasilkan mulai dari tas, dompet, tempat pakaian dan berbagai barang kerajinan lainnya. Itu belum termasuk produk tanaman dari hasil memanfaatkan sampah organik. Seperti cabe, briket, dan beras organik.

Advertisement

“Jadi caranya, kelompok yang satu membuat dulu misalnya barang kerajinan, nanti yang lain meniru, jadi ditularkan,” imbuh dia.

Sekretaris Ketua Jejaring Pengelola Sampah Berbasis Masyarakat, Junaidi mengatakan, untuk mengelola sampah organik butuh kesinambungan.

“Jadi ada kelompok peternak, kelompok pembeli kotoran hewan, kelompok petani yang bercocok tanam, satu kelompok ada beberapa divisi dan setiap orang tidak boleh rangkap jabatan dengan begitu, sampah berputar di situ-situ saja,” urai dia.

Advertisement

Belum lagi manajemen bank sampah. Kelompok Junaidi misalnya jadi bank sampah dengan membeli sampah plastik yang telah dipilah dari warga.

Hasilnya, tak hanya memetik manfaat berupa kebersihan lingkungan, lebih dari itu ada sumbangsih menambah pemasukan ekonomi warga serta membuka lapangan kerja. Khusus pembuatan barang kerajinan sampah anorganik banyak digeluti ibu-ibu rumah tangga, sedangkan sampah organik kebanyakan dilakoni bapak-bapak.

Agustina Sunyi, perajin sampah asal Jetis, mengaku meraup omzet antara Rp700.000-Rp3 juta per bulan dari hasil menjual barang kerajinan berbahan sampah.

Advertisement

Padahal kata dia, ia hanya melakoni pekerjaanya sebagai sampingan. Kadang juga mengajak ibu-ibu lainnya untuk dipekerjakan.

“Lumayan kalau pas pesanan banyak, saya ajak pekerja yang lain, kelompok saya ini baru satu-satunya di Jetis,” ujarnya.

Painah, jejaring kelompok dari Argosari, Sedayu mengatakan, mendapat pesanan hingga 100 buah dari barang kerajinan miliknya. Instansi pemerintah diketahui paling sering memesan. Khusus tas biasanya dipesan untuk kebutuhan seminar.(Wartawan Harian Jogja/Bhekti Suryani)

HARJO CETAK

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif