SOLOPOS.COM - Salah satu grup musik tradisional tampil di Jalan Malioboro (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamugkas)

Salah satu grup musik tradisional tampil di Jalan Malioboro (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamugkas)

Di jalur lambat, seberang Bangunan Malioboro Mall, kelompok pengamen yang mendeklarasikan diri bernama Calung Funk setiap malam menghibur pengunjung.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Kehadiran mereka mampu menyedot perhatian orang-orang yang melintasi tempat itu. Bahkan pengunjung sampai-sampai melingkar mengelilingi pengamen. Mereka semua terhanyut.

Adapula beberapa orang memaksa masuk dalam lingkaran tersebut.Adayang memilih untuk berjoget alagayaMichael Jackson. Adapula yang lain memilih untuk mempermainkan icik-icik. Sehingga menambah semarak alunan lagu yang diaransemen kelompok pengamen itu dengan menggunakan alat-alat musik tradisional, seperti kulintang, gambang, dan bedug yang tabuhannya telah diganti karet.

Seperti yang terlihat pada Senin (7/4) malam kemarin, kelompok pengamen itu menyanyikan berbagai lagu, mulai dari pukul 19.00 – 21.30 WIB. Hentakan musik begitu menggugah, saat merekan menyanyikan tembang baru ABG tua. Semua orang yang berada di situ ikut bernyanyi. Bahkan sampai pedagang kakilimayang berada agak jauh dengan pengamen ikut bernyanyi walau sebatas menggerakan bibirnya.

Ternyata tak sampai di pedagang saja, di salah satu sudut, di luar lingkaran itu Harian Jogja mendapati Yanto, warga Gowok, Ambarukmo, Depok, Sleman tengah asyik mendengarkan para pengamen itu berdendang. Seakan terhipnotis, Yanto memilih diam dan memejamkan mata saat beberapa lagu favoritnya mengalun, dan sesekali membuka matanya untuk mengawasi anaknya yang memilih mendekat ke pengamen.

Ia jauh-jauh hari meyempatkan waktu ke Malioboro, bukan untuk belanja sebagai tujuan utamanya, namun ingin menikmati suasana malam di Malioboro. Mulanya, ia hanya ingin mengantarkan anak dan keponakannya yang gemar dengan para pengamen tersebut.

Tapi belakangan, dia juga mulai merasakan kenikmatan yang seakan tak didapatkannya di rumah. Bahkan, ia sekarang ini boleh dikatakan sudah ketagihan. Baginya hiburan di rumah dengan melihat tanyangan televisi, tak mampu menggantikan suasana tersebut.

“TV? bosen mas, gitu-gitu saja yang ditonton, lebih enak di sini ikut merasakan langsung,” ujarnya.

Suasana malam itu memang mengasyikan, dan mungkin setiap malam pengunjung yang berlainan merasakan hal serupa. Namun terkadang fokus terhenti, saat becak, andong, dan sepeda motor lalu lalang melewati jalur lambat tersebut. Sehingga memaksa seorang juru parkir turun untuk mengaturnya.

Didi, salah seorang pengamen tersebut mengatakan,pernah suatu kali mengalami kejadian yang merusak konsentrasinya. Suatu malam, ketika pengamen yang berjumlah sekitar delapan orang tengah memainkan lagu, tiba-tiba harus berhenti karena ada andong yang lewat dan kudanya mengamuk. ”Mungkin kaget atau gimana, kuda itu lalu bergerak kesana kemari mengamuk,” ujarnya.

Kelompok pengamen ini sudah empat tahun menempati area tersebut untuk mencari nafkah. Mereka mayoritas orang asli Purbalingga. Awalnya, mereka iseng mengamen di Malioboro. Dan, teryata hasilnya cukup lumayan. Waktu hari biasa, mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp350.000, sedangkan saat akhir pekan atau liburan bisa dua kalipatnya.

Dan bahkan, kini kelompok pengamen ini kerap disewa sampai luarkota. Dalam satu kali sewa, mereka memasang tarif Rp750.000. Ini belum termasuk biaya perjalanan dan akomodasi yang harus ditanggung oleh panitia.

Dulu, mereka harus kejar-kejaran dengan Satpol PP. Untungnya, Dinas Pariwisata DIY kemudian menjaringnya dan mengikutkan pada perlombaan pengamen kreatif. Karena mampu merebut juara, dinas pariwisata kemudian memberikan tempat di jalur lambat itu untuk mengamen.

Didi mengaku bersyukur, namun dia tak mengelak jika pemerintah daerah memberikan ruang khusus seperti panggung-panggung hiburan permanen di sekitar Malioboro.”Ya enak yang seperti itu si (ada panggung) lebih leluasa,” tandasnya.

Setidaknya apa yang dilakukan oleh mereka mampu menghadirkan wajah Malioboro seperti sedia kala, dimana Malioboro sebagai ajang berkumpul para seniman. Ong Harry Wahyu, seorang seniman Jogja, mengatakan pada 1970-an,  seniman menggunakan Malioboro untuk tempat kongkow dengan tujuan penciptaan dan saling berbagi ide kreativitas.

Namun sejak 1990-an, seniman tak lagi menggunakan Malioboro karena sudah banyaknya toko dan pedagang kakilimadi sepanjang jalan Malioboro sehingga menyebabkan ketidaknyamanan sendiri bagi seniman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya