SOLOPOS.COM - Panji Pragiwaksono salah satu pegiat stand up comedy di Indonesia (perspektifbaru.com)

ilustrasi

Gelak tawa pengunjung kafe di kawasan Jalan Gejayan memecah malam. Di lantai dasar kafe itu, seorang lelaki berdiri di hadapan hadirin, melucu. Ia sedang membawakan guyonan dengan cara yang kini kian populer, stand up comedy.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Di sejumlah stasiun televisi nasional, stand up comedy sedang digemari. Tak cuma itu saja, road show soal stand up comedy juga gencar dilakukan sejumlah pesohor dari Ibukota. Salah satunya adalah Pandji Pragiwaksono.

Di Jogja, para pelawak lokal tak ingin ketinggalan, ingin juga mencicipi dan ikut mempopulerkan gaya lawakan ala Barat itu. Anang Batas misalnya, menyebut tak mudah untuk mengenalkan hiburan ini.

“Pro-kontra pasti ada, kesulitan untuk mengenalkan hiburan ini juga ada. Karena ini bukan budaya asli kita [budaya Indonesia]. Stand up comedy kan dari Amerika jadi banyak yang tidak setuju jika ini berkembang di Indonesia apalagi di Jogja,” ujar pelawak asli Jogja itu kepada Harian Jogja pekan lalu.

Anang mengungkapkan, seni lawakan ini belum lama berkembang di Jogja. “Stand up comedy di Jogja baru ada pertengahan bulan Agustus tahun lalu. Karena di Jakarta sendiri mulai ada Juli di tahun yang sama,” ujarnya.

Anak menyebut pada sekitar 2004 di Jogja telah muncul jenis lawakan yang mirip dengan stand up comedy. Lawakan itu disebut monolog humor. Jenis lawakan ini kurang terstruktur jika dibandingkan dengan stand up comedy yang marak saat ini. “Kalau stand up comedy sudah ada teori-teorinya, terstruktur dengan baik juga,” imbuhnya.

Menurut Anang, apapun yang akan dipresentasikan bukan asal lelucon, tapi juga terkonsep. “Baik bagi yang profesional atau pemula, sebelum presentasi sudah membuat dulu skrip dan topik yang akan dipresentasikan,” katanya.

Para pelaku stand up comedy atau yang biasa disebut comic belum tentu memiliki latar belakang sebagai pelawak atau komedian. Jadi lelucon yang disampaikan pun bukan hanya sekadar tong kosong saja.

“Jadi tidak sekadar stand up, ngelucu, ndagel, tapi juga omongannya berbobot. Pelawak juga belum tentu bisa melakukan ini. Karena kebanyakan peminat stand up comedy ini justru datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa sampai karyawan,” lanjutnya.

Setiawan Tiada Tara, pelawak kondang asal Jogja yang lebih senang menyebut dirinya sebagai motivator humor, mengaku belum lama mengenal dan melakoni stand up comedy.

“Mulai di stand up comedy awalnya saat itu 27 Oktober 2011 saya mencoba mengirimkan video-video saya ke salah satu stasiun TV, lalu saya lolos kemudian mengisi sebuah acara,” ujarnya.

Sempat beberapa kali tampil di stasiun televisi nasional, Setiawan menyebut tertarik dengan komedi ini karena berbeda dengan jenis komedi lainnya.  “Image smart comedian [komedi cerdas] inilah yang membuat saya tertarik dengan stand up comedy. Saya teringat dengan Ramon Papana, salah satu orang yang juga ikut mempopulerkan seni ini di Indonesia, tidak semua pelawak bisa stand up comedy. Jadi ya, itu tantangan untuk saya,” paparnya.

Soal lawakan yang harus cerdas dan berbobot itu juga diamini oleh salah satu penikmat stand up comedy. Di temui saat menyaksikan stand up comedy di Seruput Dixie Easy Dining Cafe, pekan lalu Artika Amelia, penyiar radio yang juga menjadi pemandu acara ini mengatakan, comic, tidak hanya bisa melucu saja.

“Para comic juga harus pintar dan cerdas merangkai apa yang ingin disampaikan. Serta pintar memakai logikanya dalam membuat konsep dan menghidupkan stand up comedy itu,” ujarnya.

Peluang Baik
Kemunculan stand up comedy dan tingkat popularitasnya yang melejit cukup cepat di Jogja, disebut Setiawan sebagai peluang baik bagi pelawak lokal. Setiawan menilai perkembangan seni ini di kota ini sangatlah lambat. Bila dibandingkan sepuluh tahun ke belakang, perkembangannya sangat jauh berbeda.

“Perkembangannya saya melihat hanya meningkat secara kuantitas, tapi secara kualitas belum. Belum ada yang nongol secara kualitas,” ujarnya.

Panji Pragiwaksono salah satu pegiat stand up comedy di Indonesia (perspektifbaru.com)

Pelaku stand up comedy di Jogja memang bermunculan dengan cepat. Sebut saja di Geronimo Cafe. Acara lawakan ini digelar setiap Selasa malam dan kemudian dinamai Selososelo. Anang Batas salah satu yang sering tampil di sana.

“Mereka tidak langsung dicekoki sama stand up comedy. Tapi di setiap Seloseloso diselingi juga dengan gojegan lainnya seperti plesetan atau dagelan bahkan musik juga ada. Ini sebagai jembatan agar komedi baru ini juga bisa diterima juga,” lanjutnya.

Anang menyebut, ada peluang baik bagi perkembangan lawak di Jogja melalui stand up comedy. “Kebetulan sekarang lagi tren [stand up comedy]. Nah, ini adalah kesempatan yang baik untuk mendampingkan komedi-komedi yang lain. Istilahnya komedi-komedi yang sudah ada diangkat lagi sehingga itu berefek pada komedian untuk bangkit lagi,” terangnya.

Jika di Geronimo Cafe stand up comedy diselingi dengan lawakan lain dan musik, di Djendelo Cafe justru dibuat murni, tanpa selingan. Hal itu diutarakan Sigit Hariyo Seno atau Imot, perancang stand up comedy di Djendelo.

“Kalau yang di Geronimo itu enggak hanya stand up saja, tapi ada guyonan lain, dagelan khas Jogja dan band atau musik. Kalau yang Djendelo pure stand up comedy,” ujar Imot yang menamai acaranya dengan Freedom of Nggambleh.

Imot juga menyebut perkembangan stand up comedy di Jogja saat ini sangat menggembirakan.  “Sebelum tren stand up comedy di Indonesia mulai tahun 2011-an, di Djendelo sudah ada stand up comedy sejak tahun 2007. Meskipun awalnya tidak rutin dan hanya sekali-kali saja. Dan stand up comedy Jogja, lahirnya ya, di Djendelo,” klaim Imot. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya