SOLOPOS.COM - TEKUN—Mijo tengah menatah batu menjadi kijing (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

TEKUN—Mijo tengah menatah batu menjadi kijing (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Lengking yang berasal dari benturan tatah dan palu bersahutan di seputaran batu berbentuk kubus. Suara itu memekakkan, namun siksaan itu justru sumber kehidupan bagi pemahat batu, Mijo, warga Argomulyo, Cangkringan.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Tangan dingin laki-laki yang berusia sekitar 40-an ini melahirkan batu penutup makam yang bisa jadi menyimbolkan betapa nyawa sebenarnya tidak abadi di raga.

Perajin kijing atau batu penutup makam, demikian Mijo selama 10 tahun terakhir disebut. Bengkel kerjanya berada di bangunan reot di pinggir jalan di Desa Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

“Jangan tanya penghasilan berapa sebulan, enggak mesti kadang sebulan juga enggak laku sama sekali,” ujarnya ketika disinggung perihal pendapatan yang diperoleh sebagai perajin kijing, Kamis (19/4).

Satu batu kijing dijual seharga Rp1 juta dengan pembeli yang berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya wilayah Sleman, bahkan orang yang tinggal di Wonosari pun pernah membeli kijing di tempatnya.

Mijo mengatakan satu kijing bisa diselesaikan setalah 15 hari diproses. Meski demikian kendati tidak ada pembeli, hari-harinya tetap diisi dengan memahat batu, mempersiapkan bahan kijing untuk berjaga-jaga bila ada pembeli datang.

“Kalau ada pembeli yang berminat bisa langsung membawa kijing pilihannya tanpa harus menunggu pembuatan,” tuturnya.

Kijing buatannya memiliki panjang 160 cm, sedangkan untuk lebar dan tinggi tidak memiliki ukuran standar karena dikira-kira.

Awalnya, sekitar satu dasawarsa lalu, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh pahat dan berniat memiliki usaha sendiri. Modal awal sekitar Rp2 juta mengantarnya menjadi perajin hingga kini.

Soal duka menjadi perajin kijing, Mijo mengaku senang saat karyanya laku. Kalaupun tak laku pemikiran bahwa karyanya tidak kedaluwarsa selalu diyakni.

Laki-laki yang berdomisili di Argomulyo, Cangkringan ini memaparkan, batu-batu yang diperolehnya berasal dari juragan di Cangkringan. Akan tetapi, lanjutnya, sewaktu erupsi Merapi 2010 lalu bosnya tersebut menjadi korban awan panas hingga tewas.

“Jadi sampai sekarang saya masih gunakan batu sisa sebelum erupsi, karena untuk mencari batu yang baru belum menemukan tempatnya,” terangnya. Tak lama setelah Harian Jogja undur diri, bapak dua anak ini kembali mengayunkan palu, menatah jalan hidup diri dan keluarganya. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya