SOLOPOS.COM - Uleran sebagai kelengkapan kenduri uler-uler. (Kusnul isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)

Musim tanam di Dusun Wiloso Desa Girikarto disambut dengan tradisi unik

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL- Warga Dusun Wiloso, Desa Girikarto, Kecamatan Panggang memiliki ritual unik setelah musim tanam. Di Gunungkidul, ritual itu diklaim hanya ada di Wiloso. Ritual apakah itu?

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Sepulang dari kenduri, Jumat (19/12/2014), Jumirin, salah seorang warga RT 2 RW 4 Dusun Wiloso, bergegas kembali ke rumah. Di kedua tangannya, tertenteng dua ambengan yang dalam wadah bernama sarang (wadah yang terbuat dari daun kelapa).

Ambengan itu berisi nasi, lauk pauk, serta lima gelintir makanan yang diberi nama uleran. Satu untuk dirinya, satu untuk sang ibu.

Ia pun mampir sebentar di rumah untuk berganti pakaian. Ia berganti kostum mengenakan kaus hitam, celana cokelat dilengkapi caping. Jumirin bergegas menuju ladang padi. Ia membawa sebilah bambu yang ujungnya dibelah menjadi empat serta empat gelintir uleran.

Sesampainya di tengah ladang, Jumirin menancapkan bambu tersebut. Pada masing-masing pucuk bambu ditancapkan uleran. Jumirin kemudian menangkupkan kedua tangannya sembari merapal kalimat dalam bahasa jawa.

“Mbok Sri Sedono, gula tak kirim uler. Anak putumu pada klumpukna. Lembak-lembakan kaya banyu segara [Ibu Sri Sedono, ini saya kirim ulat. Kumpulkanlah anak cucumu. Bergelombang seperti air laut.”

Jumirim menjelaskan, uleran tersebut diberikan kepada Dewi Sri sebagai persembahan. Uleran dipercaya merupakan makanan kegemaran Dewi Sri. Saat menikmati uleran, Dewi Sri dipersilakan membawa anak cucunya.

Tujuannya, agar tanaman padi tumbuh subur hingga ketika angin bertiup, tanaman padi bergelombang bagaikan air laut.
“Semua warga di Dusun Wiloso masih melakukan tradisi ini,” ujar dia.

Namun, sebelum uleran ditanam di ladang, warga terlebih dahulu mengikuti kenduri di rumah ketua RT masing-masing. Kaum atau orang yang dituakan di dusun, Kardi Utomo yang memimpin doa.

Kardi menjelaskan, ritual tersebut merupakan ritual rutin setiap tahun setelah musim tanam. Setelah padi mulai tumbuh, pada Jumat Pahing, digelar ritual uler-uler tersebut. Tujuannya, agar panen melimpah dan tanaman tidak diserang hama.

Namun, warga tidak lantas berpangku tangan pada kenduri itu. Selain berdoa, mereka juga melakukan usaha perawatan ladang agar panennya berhasil.

“Selain itu, kami juga ingin nguri-uri [melestarikan] budaya warisan nenek moyang,” ungkap dia usai memimpin doa.

Dalam kenduri tersebut, ada dua ambengan yang berbentuk gunungan nasi. Ambengan pertama melambangkan kegiatan menanam tanaman pangan sedangkan ambengan lainnya merupakan lambang kegemaran Dewi Sri.

Di pucuk gunungan nasi, terdapat takir yang berisi lauk pauk, lalapan rawisan, serta uleran. Uleran itulah nantinya yang dipasang di ladang.

Ibu RT, Sujini mengatakan, uleran dibuat dari tepung beras dicampur parutan kelapa dan garam. Setelah tercampur rata, dikukus dan dikaru menggunakan air panas.

“Kemudian dibentuk seperti ulat. Agar ada garis-garis, membentuknya digelintirkan pada pelepah pisang,” ujar dia.

Ada dua rasa yang digunakan. Ada yang dibuat manis, ada pula yang dibuat gurih. Selain dipersembahkan untuk Dewi Sri, uleran juga bisa dinikmati warga sebagai camilan.

Dalam kenduri uler-uler, warga pun saling bergotong royong. Setiap KK (ada 25 KK di RT 2 RW 4) membawa sebakul nasi beserta lauk pauk dan uleran. Semuanya dikumpulkan menjadi satu dalam kenduri.

Selain untuk melestarikan budaya warisan leluhur, kenduri tersebut juga menjadi ajang berkumpulnya warga. Ajang di mana rasa kekeluargaan semakin dipupuk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya