SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Otoritas Jasa Keuangan upayakan penyehatan BPR.

Harianjogja.com, JOGJA—Setidaknya empat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di DIY masuk pada kategori berisiko tinggi. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY sedang melakukan upaya penyehatan sehingga BPR tersebut tidak masuk dalam Daftar Pengawasan Khusus (DPK).

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Kepala Bagian Pengawasan 2 OJK DIY Probo Sukesi menjelaskan, maksud dari berisiko tinggi yakni ada penurunan kinerja. Selain itu, kredit macet (Non Performing Loan) cukup tinggi. Oleh karena itu OJK melakukan pemantauan rutin setiap tiga bulan sekali untuk melihat kesehatan BPR.

“Upaya yang kami lakukan antara lain memanggil manajemen dan direksi dan meminta data-data mereka. Kami terus berkoordinasi untuk mengupayakan perbaikan. Jangan sampai masuk DPK,” ujar dia, Jumat (15/1/2016).

Probo mengungkapkan, upaya yang dilakukan untuk perbaikan disesuaikan dengan kendala yang sedang dihadapi.  Saat BPR memiliki isu NPL yang tinggi, maka OJK akan mendorong mereka mengintensifkan penagihan. Saat kecukupan modal sudah berkurang misalnya di bawah 8%, maka harus ada upaya dari manajemen untuk melakukan aksi penambahan modal.

Probo mengungkapkan, ratio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) atau capital adequacy ratio (CAR) dari keempat BPR tersebut masih di atas 4% sehingga masih sangat besar kemungkinannya untuk disehatkan kembali. “Kami rutin lihat laporan keuangan bulanan mereka. Dari situ ketahuan kesehatannya, lalu kami lihat catatannya ke belakang [pada bulan-bulan sebelumnya],” ujar dia.

Kepala Kantor OJK DIY Fauzi Nugroho mengungkapkan, jumlah BPR di DIY yang sedianya ada 65 BPR yang terdiri dari 54 BPR konvensional dan 11  BPR syariah. Namun, dengan ditutupnya PT BPR Agra Arthaka Mulya di Gunungkidul, jumlah BPR di DIY menjadi 64 unit yang terdiri dari 53 BPR konvensional dan 11 BPR syariah.

“Saat ini, ada empat BPR yang masuk kategori berisiko tinggi. Tapi saya tidak akan menyebut namanya. Dagingnya masih banyak [artinya masih bisa diselamatkan],” ungkap dia.

Ia berharap, keempat BPR  tidak bernasib seperti PT BPR Agra Arthaka Mulya di Gunungkidul yang dicabut izin usahanya, Kamis (14/1/2016). OJK melihat, ada kesalahan pengelolaan oleh manajemen BPR yang mengakibatkan kinerja keuangan BPR tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Fauzi menyebutkan, posisi KPMM terakhir sampai November 2015 -22,83% dengan cash ratio 4,06%. Pada Juni 2015, saat BPR tersebut masuk dalam daftar pengawasan khusus, kondisi CAR sudah sekitar -12%. Untuk keluar dari pengawasan khusus, BPR harus memiliki CAR sebesar 4% dan rata-rata cash ratio dalam enam bulan terakhir minimum sebesar Rp3%.

“BPR itu tiap bulan bleeding sekitar Rp700 juta di antaranya untuk membayar karyawannya. Kredit macet [NPL] sudah 57,52 persen. Misal ada kredit Rp100 juta, Rp50 juta-nya macet,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya