SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pakualaman Grond di Kulonprogo yang akan disertifikasi, mendapat keluhan dari warga yang menggarapnya

Harianjogja.com, JOGJA — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja menuntut kantor Pertanahan Kabupaten Kulonprogo untuk tak melanjutkan proses permohonan sertifikasi hak atas tanah yang dilakukan Kadipaten Pakualaman. Mereka menilai upaya sertifikasi itu didasari kepentingan sepihak demi industri pasir besi.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta Rizky Fatahillah mengatakan tuntutan itu adalah tindak lanjut dari keluhan tiga petani desa Karangwuni, Wates, Kulonprogo. Ketiganya, Suparno, Karmiyo dan Suparmin mengaku hak mereka sudah direnggut. Mereka juga mendapatkan intimidasi untuk melepaskan lahan garapan yang sudah digarap secara turun temurun.

Dalam jumpa pers di kantor LBH Yogyakarta Minggu (27/12/2015), Suparno mengatakan dirinya pertama kali mendapatkan kabar tanahnya akan diambil secara sepihak oleh Kadipaten Pakualaman setelah serombongan perangkat desa mendatangi rumahnya akhir 2014 lalu. Tak lama setelahnya muncul surat somasi yang menuntut dirinya segera hengkang dari lahan seluas 1535m2 dan 4980 m2 yang dimilikinya.

“Ada beberapa kali somasi, setelah itu 2015 muncul pagar beton yang mengelilingi tanah saya sehingga saya tak bisa lagi menggarap lahan yang menopang kehidupan keluarga,” ujar dia.

Suparno mengatakan dirinya sebenarnya ingin mencegah pemasangan pagar itu, namun pagar yang mengelilingi tanahnya dipasang oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI) sebagai pemrakarsa proyek di tanah milik petani lain. Alhasil dia tak bisa bertindak apapun. Beberapa kali tawaran untuk negosiasi harga sempat dilayangkan namun dia memilih untuk tak menanggapinya.

“Tawarannya Rp75.000 permeter. Saya tidak pernah menanggapi karena itu tanah saya satu-satunya dan tidak ingin saya lepaskan,” ujar dia.

Keengganan Suparno melepaskan lahan garapannya diamini juga oleh Karmiyo dan Suparmin. Meski begitu ketiganya tetap saja tak berdaya dan hanya bisa melihat tanah garapan yang tak lagi bisa diakses karena pagar dan portal yang mengelilinginya.

Upaya mereka untuk mempertahankan tanah semakin sulit tatkala Kadipaten Pakualaman secara sepihak mengklaim lahan itu sebagai bagian dari Paku Alam Ground (PAG) seluas 540.434 m2. Mereka juga mendaftarkan tanah itu di Kantor Pertanahan Kabupaten Kulonprogo untuk memperoleh sertifikat.

Menanggapi kasus itu, Rizky mengatakan tindakan Kadipaten Pakualaman dalam memfasilitasi pendaftaran tanah PAG tidak dapat dibenarkan. Pasalnya sampai saat ini Perdais yang mengatur kaitannya dengan pertanahan belum disahkan

Selain itu sejak 1984 DIY sudah diberlakukan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Dlaam Negeri No. 66 tahun 1984 tentang pemberlakuan sepenuhnya UU No. 5 tahun 1960 di DIY.

“Ketentuan itu jelas menghapus rezim tanah Swapraja baik milik kasultanan atau Paku Alaman,” ujar Rizky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya