Jogja
Kamis, 19 April 2012 - 09:12 WIB

PAKU ALAM KEMBAR: Anglingkusumo Galang Dukungan

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - KPH Anglingkusumo (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

KPH Anglingkusumo (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

KULONPROGO—Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Anglingkusumo yang dikukuhkan Masyarakat Hukum Adat Sabang Merauke dan Masyarakat Adikarto sebagai KGPAA Paku Alam IX, Minggu (15/4), mulai bergerilya mencari dukungan.

Advertisement

Anglingkusumo, mendatangi sejumlah ulama di Kulonprogo, Rabu (18/4). Silaturahmi Anglingkusumo diawali dengan mengunjungi Pondok Pesantren Al Quran Wates (Pesawat) pimpinan KH Suadi Khasan Taulabi di Desa Giripeni, Wates, Kulonprogo. Selain itu, KPH Anglingkusumo juga mengunjungi Kiai Sumar Nurhadi di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan.

Mengenai kunjungannya Anglingkusumo mengatakan hal itu sebagai salah satu bentuk ungkapan rasa terima kasihnya. Sebab, saat pengukuhan dirinya di Pendapa Glagah, Kiai Suadi lah yang memasangkan lencana di dadanya.

Advertisement

Mengenai kunjungannya Anglingkusumo mengatakan hal itu sebagai salah satu bentuk ungkapan rasa terima kasihnya. Sebab, saat pengukuhan dirinya di Pendapa Glagah, Kiai Suadi lah yang memasangkan lencana di dadanya.

Ditanya upaya rekonsiliasi, Anglingkusumo mengaku belum berkomunikasi dengan Paku Alam IX (KPH Ambarkusumo). Meski begitu, pihaknya tetap terbuka bila rekonsiliasi dilakukan. KPH Anglingkusumo menilai tidak ada niat baik dari KPH Ambarkusumo untuk menyelesaikan persoalan suksesi yang sudah bergulir hampir 13 tahun tersebut. Pengukuhan sebagai PA IX oleh masyarakat Adikarta tersebut, dinilainya sebagai sebuah mukjizat Tuhan.

Dia menolak bila masalah ini dikaitkan dengan RUUK. Sebab, katanya, itu murni dari prosesi budaya dan murni keinginan Masyarakat Hukum Adat Sabang Merauke bersama masyarakat Adikarta.

Advertisement

“Setelah pengukuhan kemarin, kami mulai bersilaturahmi ke masyarakat, para sesepuh, dan ulama-ulama. Langkah ini sekaligus memperkenalkan beliau sebagai Paku Alam IX. Beberapa hari ke depan, kami masih akan bersilaturahmi ke masyarakat agar lebih dekat,” kata Angga Pratama.

Perwakilan masyarakat Adikarta, Supriyanto, menjelaskan silaturahmi dilakukan untuk mengembalikan tradisi lama, di mana para kiai dan ulama menjadi penasihat raja. ”Ini untuk mengembalikan tradisi ulama menjadi penasihat raja, seperti dulu-dulu,” kata warga Tayuban, Kecamatan Panjatan itu.

Adapun KH Suadi Khasan Taulabi mengatakan, setiap silaturahmi itu baik, dan dirinya menerima sebagai tuan rumah yang baik pula. Dia menganggap Kadipaten Pakualaman tetap utuh dan tidak ada dua Paku Alam IX. “Saya tidak menganggap ada dua Paku Alam IX, saya tetap menganggap bahwa Jogja utuh,” katanya.

Advertisement

Ditanya siapa Paku Alam yang dianggapnya hanya ada satu, Kyai Suadi hanya menjawab hal itu urusan intern Pakualaman.
Terpisah, Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, saat ditanya terkait pengukuhan Anglingkusumo, enggan memberi komentar lebih jauh. Menurutnya, masalah tersebut merupakan masalah internal Pura Pakualaman. Meski begitu, sebagai Bupati dia berharap agar masyarakat bisa menilai masalah tersebut dengan jernih.

”Saya tidak komentar soal itu. Saya netral saja, karena bukan wewenang saya. Hanya saja, sebagai Bupati saya berharap agar masyarakat menilai masalah ini dengan jernih. Secara kelembagaan, kami tetap berkomunikasi dengan Pura Pakualaman, misalnya untuk urusan investor dan lainnya,” ujar Hasto, saat ditemui Selasa (17/4) di kantornya.

DIKUKUHKAN—Pengukuhan KPH Anglingkusumo sebagai KGPAA Paku Alam IX di Kulonprogo, Minggu (15/4) (JIBI/Harian Jogja/Abdul Hamied Razak)

Advertisement

Mundur
Di sisi lain, perpecahan di Pakualaman tidak dapat dimaknai sebagai proses perebutan takhta saja. Mundurnya keputusan RUUK dapat menjadi faktor penyebab lahirnya perpecahan.

Pengamat Sejarah UGM, Sri Margono mengatakan dilihat dari sejarah proses perpecahan seperti ini pernah terjadi di tubuh Kerajaan Mataram. Adapun saat itu, pertikaian terjadi karena ada campur tangan kolonial.

”Jadi saat ini yang terjadi adalah politik yang terulang lagi,” terang dia saat dihubungi Harian Jogja melalui telepon, kemarin.

Meski pada akhirnya perpecahan yang terjadi di Dinasti Mataram menjadi penyebab kerajaan Jogja dan Solo berpisah, Margono menilai persoalan di tubuh Pura Pakualam kali ini tidak akan berdampak besar di Jogja. ”Ada kepentingan politik lebih besar yang memanfaatkan. Dan saya dengar Anglingkusumo pro pemilihan,” papar Margono.

Dengan kata lain, kunci meredam perpecahan adalah penyelesaian RUUK DIY. Semakin cepat diputuskan, tegasnya, semakin jelas perkara ini diminimalisasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif