SOLOPOS.COM - JIBI/Desi Suryanto Seorang pengunjung melihat foto yang dipamerkan dalam Pameran Fotografi Jurnalistik "Jogja Berhenti Nyaman" di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis (26/12/2013). Sebanyak 115 foto karya 21 pewarta foto menyuguhkan bergam potret ketidaknyamanan Jogja setahun terakhir ini, pameran akan berlangsung 26-30 Desember 2013.

Harianjogja.com, JOGJA — Di balik keistimewaan Jogja ternyata tersembunyi bahaya yang mengancam. Ancaman itu datang dari fenomena penyimpangan hukum dan sosial yang terjadi sehingga membuat Jogja yang memiliki slogan “Berhati Nyaman” perlahan mulai berhenti nyaman.

Pesan itulah yang ingin disampaikan oleh 21 pewarta foto yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta. Digelar di Bantara Budaya Yogyakarta 26-30 Desember 2013, pameran yang memajang 115 karya foto ini menjadi otokritik bagi pemimpin dan masyarakat Jogja.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Memasuki ruang pamer pengunjung akan diajak untuk melihat seluruh sisi lain Jogja luar dan dalam. Dimulai dengan foto wilayah yang menampilkan Jogja yang sumpek hingga masuk secara perlahan untuk menelusuri kecacatan di berbagai aspek.

Jajaran foto yang dipajang akan memaksa pengunjung membuka mata atas masalah-masalah masalah infrastruktur, pendidikan, hukum sosial hingga budaya yang mulai terusik dan bertentangan dengan slogan kebanggan kota Pelajar ini.

Kurator pameran foto jurnalistik “Jogja Berhenti Nyaman”, Dwi Oblo kepada Harian Jogja Sabtu (28/12/2013) mengatakan pameran ini berangkat dari keluhan-keluhan kecil yang kerap terlontar di kalangan masyarakat. Tanpa disadari, keluhan kecil itu ternyata perlahan membesar sehingga diperlukan suatu pengingat bahwa ada yang mulai melenceng di Jogja dan harus segera ditindaklanjuti.

“Sering kita dengar orang bilang Jogja sekarang sumpek dan sebagainya. Dari situ kami kemudian terinspirasi untuk mengungkapkan ketidakistimewaan Jogja,” ujar Oblo.

Kekuatan pameran ini menurut Oblo adalah karya yang ditampilkan secara visual memiliki momen yang kuat. Pewarta foto Reuters ini tak memungkiri bahwa bingkai foto adalah bingkai yang penuh ambiguitas. Namun setidaknya gambaran yang disajikan mampu menampilkan realita yang sedekat mungkin dengan fakta. “Interpretasinya memang bisa berbeda, tapi pesannya cukup jelas,” imbuhnya.

Pengungkapan ketidakistimewaan Jogja dalam pameran foto ini menurut Oblo merupakan upaya kritik bagi seluruh pemangku kebijakan dan masyarakat di Jogja.

Dia mencontohkan jargon Jogja sebagai kota pelajar. Namun ternyata sarana untuk belajar tak sesuai harapan. Belum lagi mulai banyaknya cagar budaya yang tersisih oleh laju modernisasi. Bila tak segera ditangani masalah kecil bisa merembet menjadi besar.

“Di sini kita semua disentil, dan kami berharap sentilan ini bisa membuat Jogja kembali berhati nyaman,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya