SOLOPOS.COM - Kexin Zhang dan karya-karyanya. (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Pameran seni Jogja dilakukan Kexin Zhang, seorang seniman asal Tiongkok

Harianjogja.com, JOGJA-Jogja dan Magelang menjadi media pilihan bagi  Kexin Zhang untuk menunjukkan hasil karyanya. Selain itu, beberapa karya juga ia pajang di Langgeng Art Foundation pada 16 sampai 26 September 2015. Melalui karyanya ia ingin menyampaikan keceriaan. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Kusnul Isti Qomah.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

“Meskipun dirimu menderita, kamu harus membuat orang lain bahagia.” Untaian kata itu  dilontarkan seorang Kexin Zhang, seniman asal Tiongkok yang saat ini tengah mengikuti program residensi di Langgeng Art Foundation (LAF), Jogja, 1 sampai 30 September 2015.

Mengenakan kaus, dipadu celana ¾ dan selop, Kexin duduk santai di sebuah sudut  LAF. Sembari dibantu istrinya, Margaret Zhang sebagai translator, pria kelahiran Harbin, Tiongkok 1957 mencoba menjelaskan pertunjukan seni yang ia lakukan selama berada di Jogja dan Magelang.

Lulusan dari jurusan seni di Universitas Pendidikan Harbin pada 1982 ini sebetulnya sudah menyiapkan ide untuk karya yang akan dia tampilkan. Awalnya pria yang telah berpameran di China sejak 1984 itu ingin mengangkat tema religi misalnya seputar kegiatan muslim di masjid. Namun, sesampainya di Jogja, ide itu seketika buyar.

“Di sini, tidak hanya ada agama Islam, tetapi juga ada Kristen, Hindu, Katolik, Budha. Masyarakatnya pun multikultural,” ujar salah satu kurator pada Guangzhou Triennale ke-4, pameran kontemporer paling penting di Tiongkok pada 2011.

Satu hal menarik yang menjadi dasar penampilannya adalah sangkar burung. Setiap pagi, ia berjalan-jalan di sekeliling galeri seni itu. Pria yang pernah diundang oleh Universitas Silpakorn Thailand sebagai profesor tamu pada 2012 menemui banyak rumah yang memelihara burung. Begitu pula di jalan, di mana banyak sepeda motor dan mobil pikap membawa sangkar burung.

Burung dan sangkar burung, menjadi media pemersatu masyarakat yang beragam. Sangkar burung juga menjadi sarana pembuka komunikasi sehingga kedekatan antar manusia bisa  dijalin.

Lalu, timbullah ide unik untuk memakai sangkar burung lengkap dengan burung ketilang di kepala dipadukan baju muslim berwarna putih. “Warna putih melambangkan kemurnian,”  ujar dia.

Sembari mengenakan perlengkapan itu, pelopor yang mengabdikan dirinya untuk pembentukan hubungan artistik antara Tiongkok dan Asia Tenggara itu berkeliling di sejumlah tempat seperti Candi Borobudur, Malioboro, Kraton Jogja, dan pasar.

Penampilannya yang nyeleneh itu menarik perhatian banyak orang. Bagaikan seorang bintang, di Borobudur, banyak pengunjung yang mengantre untuk berfoto. Sepanjang jalan, orang tertawa melihatnya bersama burung-burung ketilang di kepalanya.

Awalnya, seniman nomadik ini memakai plastik untuk menutupi kepalanya untuk melindungi dari burung-burung itu. Namun, pada kesempatan kedua, ia melepaskan agar bisa berinteraksi lebih dekat dengan burung-burung.

Meskipun kadang merasakan sakit saat burung-burung itu hinggap di kepala, namun, melihat orang-orang tertawa ia juga merasakan kebahagiaan. Artinya, masyarakat memahami seni yang ia sajikan dan menjadi bahagia.

Selama aksi dua hari, ia memakai 28 ekor ketilang. Usai pertunjukan di jalanan, semua burung-burung itu dilepaskan kembali agar bisa kembali ke alam bebas. Hal itu menandakan burung-burung mendapatkan kedamaiannya seperti hati yang damai karena sudah berhasil  membuat orang bahagia. Ada pengalaman unik di sana, ketika sangkar dilepas, burung-burung itu tak langsung pergi, tetapi memilih hinggap di kepala Kexin.

“Pertunjukan ini sukses besar karena dengan karya sederhana, saya bisa berinteraksi dengan banyak orang  dan membuat mereka bahagia,” ujar tamu kehormatan dari Museum Seni Rupa Modern Bieliayevo di Moskow.

Sebuah karya seni, seharusnya bisa dipahami semua kalangan, bukan sebaliknya.  Seni, seharusnya dibagi pada anggota keluarga dan semua generasi, baik tua maupun muda. Ia merasa beruntung bisa singgah di Jogja. Banyak inspirasi yang didapatnya. Waktu selama satu bulan pun dirasa kurang.

“Karakter senin kontemporer di sini dengan di Beijing hampir mirip. Bahkan, masyarakat di sini semua suka seni,” ujar dia.

Ketika berjalan-jalan, pria yang pernah melakukan kunjungan akademis dan memamerkan lukisan tinta Tiongkok ke Rusia atas undangan Kementerian Kebudayaan Uni Soviet Tahun 1992 itu banyak menjumpai mural di dinding yang dibuat masyarakat.

Di Beijing, karya mural biasanya dibuat oleh seniman. Di Studio 2 LAF, selain memajang dokumentasi aksi langsungnya di jalanan, ia juga memajang enam lukisan kontemporer yang ia bawa dari Beijing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya