SOLOPOS.COM - Abdi dalem Kraton sedang mengeringkan kereta Kanjeng Nyai Jimat seusai dijamasi atau dicuci di halaman Museum Kereta, Selasa (17/10/2017). (Ujang Hasanudin)

Abdi dalem menggelar tradisi Jamasan kereta Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Harianjogja.com, JOGJAKeyakinan akan berkah dari benda pusaka menarik banyak orang mendatangi jamasan dua kereta Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Abdi dalem dan masyarakat larut dalam tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Manik Retno, dijamas di depan khalayak ramai, Selasa (17/10). Dua kereta pusaka itu selama ini dikandangkan di Museum Kereta Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di pojok Alun-Alun Utara, Kota Jogja. Selain dua andong sakral tersebut, semua pusaka milik Kraton disucikan, namun secara tertutup. Saking tertutupnya, selama dua hari ini Kraton yang biasanya ramai para pelancong tak bisa diakses masyarakat umum.

Kanjeng Nyai Jimat digunakan pada masa kekuasaan HB I. Kereta yang ditarik delapan kuda itu dibuat di Belanda sekitar 1.700-an. Setiap tahun pada Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, kereta tersebut dicuci atau dijamas. Meski kayu yang menjadi bodi Kanjeng Nyai Jimat sudah banyak mengelupas, andong tersebut masih dapat berjalan. Supaya lebih terawat, seusai dijamas, kereta ini langsung diolesi minyak kelapa campur minyak cendana.

Adapun Kyai Manik Retno merupakan kereta yang digunakan HB IV sebagai kendaraan untuk anjangsana. Kyai Manik Retno lebih muda ketimbang Kanjeng Nyai Jimat, dibuat di Belanda pada 1815. “Kali ini yang mengiringi Kanjeng Nyai Jimat adalah Kyai Manik Retno,” kata Wedana Rono Wiratmo, abdi dalem Kraton, di sela-sela jamasan. Pengiring Nyai Jimat tiap tahun berbeda-beda.

Mencari Berkah

Sebelum jamasan di halaman Museum Kraton dimulai, malam harinya abdi dalem menggelar tirakatan sampai menjelang bergantinya hari di dalam Museum Kereta. Paginya lantunan doa-doa dipanjatkan hanya oleh para abdi dalem yang bertugas menjamas pusaka.

Sejak doa mulai dirapalkan, aroma dupa menguar sampai luar museum. Orang-orang datang menyemut. Hujan yang turun sejak pagi bukan penghalang bagi kerumunan itu untuk tetap mendekat ke Kanjeng Nyai Jimat. Sebagian besar mereka membawa jeriken, botol, dan plastik.

Tahun lalu, warga masyarakat bisa mendekat ke kereta, bahkan menadah air bekas cucian dari bawah kereta. Kali ini, ngalap berkah seperti itu tak bisa dilakukan. Kraton memasang pembatas agar masyarakat tertib.

Sebagai gantinya, abdi dalem menyiapkan dua gentong yang diisi air bekas jamasan kereta.

Air tersebut menjadi rebutan. Bahkan sebelum jamasan kelar, air dalam gentong sudah tandas. Beberapa orang menggunakan air tersebut untuk cuci muka dan mandi di halaman Museum. Namun, kebanyakan orang membawa pulang air yang sudah diwadahi.

Yuniarti, 57, salah satunya. Penduduk Godean Sleman ini hampir lupa sudah berapa Sura mengikuti tradisi tersebut karena saking seringnya. Ia bersama anaknya, Jatmiko, datang untuk mengambil air sisa jamasan. Yuniarti mendapat tiga botol. Air tersebut akan dicampurkan ke dalam sumur di rumahnya agar ia bersama keluarganya selalu dalam keadaan sehat.

“Tadi malam saya sudah datang ke museum untuk tirakatan,” kata dia.

Tradisi yang sudah bertahun-tahun ini juga menarik bagi warga luar DIY. Wahyu Mintarsih, 59, datang dari Tebet, Jakarta Selatan untuk mengambil air cucian kereta. Sambil berurai air mata ia mengatakan berniat menggunakan beberapa botol air tersebut untuk disiramkan di sekitar warungnya di Jakarta yang akhir-akhir ini sepi. “Biar warung saya laris,” kata dia.

Tak cuma air yang jadi rebutan, tetapi juga beberapa uba rampe mencuci keret, seperti bunga, jeruk nipis, hingga kain mori.

Harus Bersih

“Sejak dulu banyak yang menantikan air bekas jamasan Kanjeng Nyai Jimat,” ujar abdi dalem Penewu Joyo Wintoro.

Jamasan Nyai Jimat dibuka untuk umum sejak 1985. Saat itu Joyo Wintoro sudah menjadi abdi dalem. Dia mempercayai selubung tahayul yang masih diyakini masyarakat. Pada 1998 lalu ia menyaksikan warga dari Wonosobo, Jawa Tengah, datang ke jamasan dalam keadaan lumpuh. Kemudian kakinya diletakkan di bawah kereta. “Percaya atau tidak, penyakitnya langsung sembuh,” kata dia.

Nyai Jimat tak bisa diperlakukan sembarangan. Abdi dalem yang ditugaskan untuk mencuci Nyai Jimat harus dalam keadaan suci. Jika tidak, bisa bahaya. Sura 17 tahun jadi contohnya.. Kala itu, Joyo khilaf. Malam hari sebelum jamasan, dia berhubungan badan dengan istri. Pagi hari, seperti biasa ia bersuci kemudian menjamas Nyai Jimat. “Tidak ada apa-apa saya langsung geblag [tertelentang],” ucap dia.

Sejak saat itu sehari sebelum membersihkan Nyai Jimat, ayah dari tiga anak ini pantang untuk menyentuh istri. Menurut dia, kejadian itu merupakan pengalaman pribadi. “Abdi dalem lain punya pengalaman beda-beda.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya