SOLOPOS.COM - Ketua Desa Budaya Gilangharjo Supriyanto (baju merah muda) saat menjelaskan tentang sejarah Watu Gilang kepada para Diaspora Jawa, Kamis (20/4/2017) di situs Watu Gilang, Desa Gilangharjo, Pandak. (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Sekitar 300 Diaspora Jawa berkumpul di DIY mengikuti berbagai kegiatan kebudayaan dan tradisi Jawa

 
Harianjogja.com, BANTUL– Bermuka nusantara, berbahasa Jawa, tapi tak membuat mereka bisa dengan mudah pulang ke tanah leluhurnya. Terlihat, betapa khidmatnya ketika mereka mendatangi situs petilasan leluhur di Watu Gilang.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Entah bacaan apa yang dirapal, tapi dari kejauhan mulut Hariette tampak komat-kamit. Tampak khusyuk, kepala perempuan berkacamata itu menunduk.

Di pelataran situs purbakala Watu Gilang, Desa Gilangharjo, Pandak, Kamis (20/4/2017), Hariette dan puluhan Diaspora Jawa lainnya duduk beralaskan terpal. Dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang melafalkan rapalan berbahasa Jawa, mereka khidmat mendengarkan.

Sejak 17 April lalu, sekitar 300 Diaspora Jawa memang sudah berkumpul di DIY. Beragam kegiatan kebudayaan dan tradisi Jawa mereka ikuti. Salah satunya adalah di Desa Gilangharjo ini yang diikuti 40 orang di antaranya. “Di sini, saya sangat senang. Saya bisa merasakan suasana sakralnya Jawa,” kata Hariette.

Seperti diaspora lainnya, perempuan yang bernama lengkap Hariette Karsinem Mingoen adalah warga Belanda keturunan Jawa. Dibanding dengan diaspora lainnya, karir Hariette sedikit lebih mentereng.

Sejak hijrah ke Belanda dari Suriname 1973 lalu, karirnya memang terus melejit. Terutama setelah merampungkan pendidikan sosiologi pembangunan di Universitas Leiden, ia lantas dikirim pemerintah Belanda untuk bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Saya bertugas di ILO [International Labour Organization]. Lokasinya di Thailand dan Jakarta,” akunya bangga.

Profesi itulah yang lantas membuatnya menguasai beberapa bahasa. Selain bahasa leluhurnya, Bahasa Jawa, ia juga fasih melogatkan Bahasa Sranang, bahasa ibu Suriname, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda. “Tapi sehari-hari, saya tetap memakai Bahasa Jawa.”

Saat ditanya kembali soal Watu Gilang, wajahnya mendadak kebingungan. Ia tak begitu paham sejarah situs itu. “Saya hanya bisa menikmati suasananya saja. Pengobat rindu,” terangnya.

Sebenarnya, di Belanda, ritual tradisi Jawa seperti itu masih rutin dilakukannya bersama Diaspora Jawa lainnya yang ada di sana. Hanya saja, intensitas dan atmosfernya berbeda saat ia mendatangi situs Watu Gilang itu.

Di Belanda, beberapa komunitas Diaspora Jawa yang ada di sana, secara rutin menggelar ritual laiknya di Indonesia. Mulai dari Tahlilan, Yasinan, bahkan hingga bersih desa.

Ketertarikannya pada ritual Jawa terbukti saat dengan saksama ia mendengarkan penjelasan dari Ketua Desa Budaya Gilangharjo Supriyanto tentang Watu Gilang. Situs itu dikenal sebagai tempat meditasi Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senopati.

Setelah mendapatkan hadiah tanah Bumi Mataram dari Kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya lantas mengembara hingga sampailah di Hutan Wanalipura. Di hutan itulah, Sutawijaya lantas menuju ke danau dengan sebuah batu di tengahnya. Batu itulah yang kemudian disebut sebagai Watu Gilang (Batu Gilang).

Dikatakan Watu Gilang, lantaran di atas batu itulah Danang Sutawijaya didatangi oleh sebuah cahaya benderang yang oleh warga sekitar dipercaya sebagai lintang johar.

Maka sejak itulah, warga sekitar percaya bahwa di atas batu itulah, Danang Sutawijaya mendapatkan wahyu untuk menjadi raja di Bumi Mataram. Tak hanya itu, melalui lintang johar itu pula, warga percaya, Danang Sutawijaya akan melahirkan generasi yang membawa Bumi Mataram ke masa keemasannya.

“Yang kami maksudkan itu adalah Sultan Agung, cucunya beliau [Panembahan Senopati],” terang Supriyanto.

Pada perkembangannya, nama Watu Gilang lebih dikenal dengan Selo Gilang. Setidaknya begitulah yang tertulis dalam papan nama yang terpasang di Jl. Samas.

Padahal, jika merujuk pada sejarah, Watu Gilang itu sejatinya bernama Gilanglipuro. Secara harfiah, nama Gilanglipuro berasal dari dua kata yang berbeda, yakni Gilang (Bahasa Kawi) yang berarti batu, dan Lipuro yang berarti penghibur hati. “Tapi tak masalah, yang penting nilai sejarah batu ini tidak hilang,” tegas Supriyanto.

Kentalnya nilai sejarah itulah yang membuat para Diaspora Jawa itu betah. Kenangan-kenangan yang tertanam di benak, membuat mereka kerasan berlama-lama di sana. Kenangan itu pula lah yang melarutkan mereka pada atmosfer kesakralan yang ada di sekitar petilasan.

“Wes suwi aku gak tau ngerasakno koyok ngene [Sudah lama saya tidak merasakan seperti ini],” kata Jakiem Asmowidjojo, Diaspora Jawa asal Suriname yang kini juga menetap di Belanda, tepatnya di Utrecht dengan bahasa ngoko yang sangat fasih.

Selain merasakan atmosfer kesakralan sekitar petilasan, dengan kegiatan kunjungan seperti ini, ia merasa puas. Saat ia masih muda, ia mengaku pernah dipanggil neneknya. Ketika itu, neneknya terlihat sedih.

“Aku diceluk. Jare lek aku wes gede, aku dikongkon goleki sedulurku nang Blitar, kampung-e Simbahku [Aku dipanggil. Katanya, saat sudah besar, saya diminta mencari saudara di Blitar, kampungnya Simbah saya].”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya