SOLOPOS.COM - SAmbal Biyung (JIBI/Harian Jogja/M3)

SAmbal Biyung (JIBI/Harian Jogja/M3)

Sambal identik dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tapi siapa sangka, sambal yang begitu lekat dengan berbagai jenis kuliner nusantara ini bisa dikembangkan menjadi suatu jenis usaha yang menguntungkan.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Tidak hanya bagi si produsen, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.

Bermula dari kesenangan keluarga terhadap sambal dan makanan pedas, Farah Maulida memutuskan memproduksi sambal buatannya untuk tujuan komersial. “Saya mengajak ibu-ibu rumah tangga di sekitar sini untuk memproduksi sambal,” ungkapnya kepada Harian Jogja, pekan lalu.

Ditemui di rumahnya di RT01 Dusun Banyutemumpang, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, ibu satu anak itu sedang bersantai sambil menunggu beberapa tetangga yang biasa membantu memproduksi sambal datang. “Biasanya kami mulai memproduksi sambal pagi atau sore hari,” tutur Farah.

Dengan merek Sambal Biyung, Farah memulai usahanya sekitar dua bulan lalu. Dia bercerita, usahanya memang masih terbilang muda, tapi membuat sambal adalah rutinitas sehari-hari yang sudah berjalan jauh sebelumnya. Anggota keluarganya selalu meminta sambal untuk teman makan.

“Dinamakan Sambal Biyung karena memang itu buatan biyung [ibu],” kata Laire Siwi Mentari, anak Farah. Laire memanggil ibunya dengan biyung, sebutan untuk ibu yang memang sudah jarang digunakan. Panggilan itu pula yang kemudian dijadikan merek sambal produksi Farah dan Laire.

Sambal Biyung memiliki tiga varian, yaitu original, teri, dan peda. Tiap varian terdiri dari sambal merah dan sambal hijau. Laire menyebutkan saat ini mereka sedang bereksperimen membuat sambal dengan varian cumi dan belut.

“Setiap produksi, kami bisa menghasilkan lima kilogram sambal, baik untuk sambal merah ataupun hijau. Kami tidak membuat sambal setiap hari, tapi biasanya tiga hari sekali,” terang Farah.

Untuk memproduksi lima kilogram sambal, Farah biasanya membutuhkan lebih dari lima kilogram cabai. Dia mendapatkan pasokan cabai dan bahan-bahan lainnya dari supplier langganannya yang biasa berjualan di Pasar Niten.

Sambal Biyung dipromosikan sebagai sambal tanpa pengawet. Farah mengatakan dia memilih sendiri bahan-bahan yang dibutuhkan.

Seperti sambal lainnya, bahan-bahan yang dibutuhkannya antara lain bawang, gula, terasi, dan minyak nabati. Agar sambal bisa tahan lama, gula digunakan sebagai pengganti pengawet. Farah mengatakan sambalnya bisa tahan enam hari di luar kulkas dan satu bulan jika disimpan di kulkas.

Harga cabai yang naik turun dianggap bukan penghalang. “Yang sulit adalah mencari peda. Banyak orang Jogja yang tidak tahu ikan peda, termasuk penjual ikan di pasar,” kata Farah. Peda dan teri pun harus dipilih dengan cermat, karena banyak penjual yang sudah mencampur ikan-ikan itu dengan formalin.

Dengan empat hingga lima pegawai dan beberapa cobek berdiameter 45 sentimeter, Farah memproduksi Sambal Biyung di teras rumahnya. Lima kilogram sambal yang dihasilkan biasanya langsung dipesan oleh reseller dan pelanggan di berbagai daerah. Satu reseller bisa memesan hingga 50 botol.

Satu botol sambal berukuran 200 gram. Tiap botol dijual dengan harga Rp13 ribu. Dengan harga jual sebesar itu, mereka bisa mendapat Rp3-4 ribu dari tiap botol atau sekitar Rp3 juta satu bulan.

“Promosi hanya dilakukan lewat Twitter. Dalam satu bulan biasanya sekitar 500 botol yang terjual,” sebut Laire. Selain sebagai admin akun Twitter Sambal Biyung, dia juga mengurus kemasan dan pengiriman pada para pemesan.

Pesanan tidak hanya datang dari Jogja, tapi juga daerah-daerah seperti Jakarta, Balikpapan, Aceh. Bahkan, mereka juga pernah mendapat pesanan dari Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong.

Beberapa teman dan kerabat dari Kanada dan Jerman pun pernah mencoba dan membawanya pulang ke negara masing-masing.

Selain sebagai teman makan, Sambal Biyung juga bisa diolah menjadi bahan dasar berbagai masakan. Pedasnya Sambal Biyung ternyata masih dirasa kurang oleh beberapa orang. “Ada yang bilang rasanya masih kurang pedas, padahal rasanya sudah pedas banget untuk orang lain,” kata Laire sambil tertawa.

“Usaha ini memang masih awal. Saya berharap nantinya bisa mengajak lebih banyak ibu-ibu di sekitar sini untuk ikut memproduksi,” papar Farah.

Sebagian besar pria di daerahnya bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, atau pengangkut batu, dengan upah Rp30.000-Rp40.000 sehari. Sedangkan, para istri biasanya tidak bekerja.

Dengan mengajak ibu-ibu di sekitar rumahnya, Farah berharap dapat ikut membantu meningkatkan kualitas kehidupan mereka.“Saya belum berani memproduksi lebih banyak, karena masih banyak yang harus disempurnakan. Salah satunya kemasan,” tutur Farah. Kemasan saat ini dinilai masih belum cukup rapat sehingga minyak dari sambal masih sering meresap.“Mudah-mudahan dalam waktu dekat masalah kemasan sudah beres, sehingga bisa lebih fokus di produksi,” ujar Laire.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya