SOLOPOS.COM - Jaka Aris Eko (JIBI/Harian Jogja/IST)

Pemuda inspiratif berikut alumni UGM.

Harianjogja.com, SLEMAN-Peradaban yang semakin maju seringkali membuat orang muda melupakan budayanya. Namun, bagi Jaka Aris Eko Wibawa, 24, budaya adalah sesuatu yang luar biasa, salah satunya gamelan. Alumni yang baru saja menyandang gelar sarjana Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengakui, antara gamelan dan pendidikan yang sedang ditempuhnya kala itu sangat jauh berbeda.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Jaka, demikian biasa dia disapa, jurusan Sastra Inggris yang ditempuhnya mulai tahun 2010 lalu juga mempelajari tentang cross culture understanding, yakni pemahaman lintas budaya. Fokus topik tersebut adalah membangun jembatan dengan budaya lain melalui budaya sendiri. Jaka teringat akan ucapan seorang guru yang mengatakan, sebelum mempelajari budaya orang lain, pelajari lebih dulu budaya sendiri.

“Dari situ saya mulai berpikir, budaya apa yang ingin saya pelajari. Pertama kali saya masuk Fakultas Ilmu Budaya, gamelan yang dimainkan grup karawitan di kampus ini sangat bagus,” ujar Jaka saat berbincang dengan Harianjogja.com, di kampus FIB UGM, Selasa (1/3/2016).

Jaka mengatakan, banyak kesenian tradisi yang telah lama dikenalnya. Di antaranya wayang kulit dan gamelan yang selama ini dimainkan secara klasik. Namun, diakui anak sulung dari dua bersaudara ini, sebagai anak muda cukup sulit untuk memahami, bahkan mempelajari budaya dan tradisi klasik. Ketika melihat penampilan gamelan yang dimainkan grup karawitan kampus, seketika Jaka mulai tertarik pada instrumen musik tradisional ini.

Penyajian musik gamelan yang ditampilkan secara kontemporer, lebih luwes dan mudah dicerna anak muda sepertinya menarik hatinya untuk mempelajari lebih dalam kesenian tersebut. Jaka merasa beruntung berada di kota dengan atmosfer seni yang tinggi. Banyak seniman gamelan di Jogja dan mereka bukan seniman yang pelit ilmu untuk dibagi ke anak muda sepertinya.

“Justru mereka [seniman gamelan] sangat mengapresiasi anak muda yang mau belajar gamelan. Basik saya memang bukan seniman, jadi saya ingin sekali membawa gamelan ke ranah akademisi yang saya geluti ini,” kata Jaka.

Jaka terus mencari tahu tentang perkembangan gamelan. Sejumlah materi yang dipelajarinya perlahan membuka mata hati Jaka akan luasnya perkembangan gamelan, tidak hanya di Indonesia, melainkan di dunia internasional. Berawal dari itulah, anak muda kelahiran Magetan, Jawa Timur itu berusaha membuat studi komparasi gamelan terhadap musik dunia.

Selama tiga tahun menyelami dan mempelajari gamelan, bahkan Jaka tak hanya belajar satu atau dua instrumen gamelan saja. Jaka juga mempelajari seluruh instrumen gamelan yang ada, mulai dari bonang, kendang, saron hingga gong semua berusaha dikuasainya. Dari hobi itu, pihak fakultas mendapuknya untuk memberikan workshop gamelan kepada mahasiswa asing dalam kunjungan pertukaran budaya.

“Dalam gamelan ada terminologinya, saya pun harus memahami konsep tersebut. Awalnya saya menerjemahkan secara literal, tapi akhirnya berkembang dan saya mulai memahami konteks dan budaya mereka. Jadinya secara tidak langsung workshop ini kemudian sejalan dengan dasar keilmuan yang saya pelajari, tentang culture transation,” jelas Jaka.


Ajak Anak Muda Tidak Minder Pada Budayanya

Berawal dari workshop tersebut, undangan pentas bersama grup gamelan FIB UGM menjadi pengalaman pertamanya mengenalkan gamelan ke mancanegara. Kala itu dirinya dan tim diundang dalam rangka acara Gamelan Exhibition di Malaysia.

Namun, sederet perkenalannya dengan berbagai pegiat dan seniman gamelan, kian mendekatkan misinya untuk mempromosikan dan melestarikan gamelan. Setelah Malaysia, beberapa negara mulai dikunjunginya untuk mengenalkan gamelan. Mengenal beberapa nama profesor yang sama-sama konsen terhadap gamelan membawa Jaka pada pengalaman yang tak terlupakan hingga saat ini.

“Kebetulan saya kenal dengan beberapa profesor, ternyata gamelan itu sangat berkembang di luar negeri. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menghubungi profesor-profesor yag saya kenal,” ungkap Jaka.

Hingga saat ini, Jaka mengaku sudah mengunjungi beberapa negara. Di antaranya Amerika, Thailand, dan Jepang. Bahkan, sudah dua kali ini Jaka mengunjungi Jepang. Dia mengatakan, kunjungan ke Jepang tidak serta merta karena undangan. Jaka mengaku, kunjungan ke Jepang juga dilakukannya dalam rangka untuk penelitian.

Pertama kali ke Jepang adalah saat peringatan 30 tahun Jogja-Kyoto sebagai sister city. Sedangkan, kali keduanya, Jaka memulai penelitiannya tentang gamelan sambil pentas dengan para seniman asal Negeri Sakura itu.

Hobinya meneliti, membuat Jaka semakin ingin mengulik perkembangan gamelan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di mancanegara. Cowok berzodiak Aries ini mengungkapkan, dirinya pernah membaca sebuah artikel lama tentang persebaran gamelan di seluruh dunia.

Jaka berharap, anak-anak muda Indonesia tidak minder atau malu belajar budayanya sendiri. Dia meyakini jika nantinya pelajar Indonesia mau ke luar negeri, tidak hanya akan ditanya tentang kapasitas akademiknya. Mereka juga nantinya akan diminta untuk menampilkan sesuatu dari negaranya.

“Jangan sampai ke Amerika tidak bisa menampilkan salah satu budayanya. Karena orang asing saja beranggapan bahwa budaya adalah salah satu karakter kita, siapa diri kita,” papar Jaka.

Ingin Buat Catatan Tentang Budaya

Budaya tidak cukup hanya diketahui, tetapi juga bisa dilestarikan. Sederet pengalaman dan penelitian tentang gamelan, Jaka ingin mencoba mengambil ranah yang lebih luas lagi untuk mempelajari dan mendalami persebaran gamelan Jawa di dunia internasional.

Jaka mengaku tak ingin disebut sebagai seniman, meski sudah cukup banyak tampil mengenalkan kesenian karawitan. Sebagai seorang penikmat dan pegiat gamelan di ranah akademisi, Jaka mengaku ingin sekali bisa membuat sebuah catatan tentang gamelan.

“Kesenian Indonesia itu bukan sesuatu yang sepele, karena di luar negeri saja hal itu sangat diapresiasi. Ketika ada dokumentasi yang merekam tentang gamelan, tarian maupun kesenian lainnya, baik itu dalam bentuk artikel atau hasil penelitian. Saya berharap itu bisa diwariskan,” ungkap Jaka.



Impiannya, kelak sepuluh tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun kemudian, catatan itu bisa kembali menyadarkan generasi Indonesia akan budayanya. Ketika anak mudanya enggan mengenal dan mempelajari budayana, Jaka berharap catatan itu bisa dibaca.

“Semoga setelah mereka membacanya nanti, mata mereka terbuka bahwa ternyata, entah itu gamelan, tarian atau apapun itu keseniannya, di masyarakat internasional sangat diapresiasi. Jadi, seyogyanya kita bisa melestarikannya,” harap Jaka.

Pengalaman tampil di berbagai negara dengan seperangkat gamelan bersama timnya, menyadarkan Jaka akan tanggapan orang-orang asing terhadap budaya yag ditampilkannya. Kesan orang-orang asing pada musik gamelan sangat luar biasa. Jaka tak menyangka, di mata masyarakat tersebut musik gamelan tidak kalah dengan musik dunia.

Jaka mengungkapkan, orang Indonesia seperti minder pada kebudayaan orang lain. Terutama anak mudanya yang menilai gamelan sebagai suatu kesenian yang kuno.

“Justru impresi orang-orang asing yang saya temui selama ini, menilai bahwa musik orkestra orang Jawa ini [gamelan] enggak kalah kerennya dengan musik-musik orkestra dunia. Saya berharap anak muda bisa menyadari hal ini,” kata Jaka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya