SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pemulangan anggota Gafatar menyisakan masalah pendidikan untuk anak-anak yang akan menghadapi Ujian Nasional

Harianjogja.com, BANTUL- Sejumlah anak dari keluarga mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Bantul kini tidak dapat bersekolah akibat rentetan peristiwa yang mereka alami selama ini. Mereka kini tinggal di penampungan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Riyana sibuk mendengarkan musik dari smartphone lewat headset yang terpasang di telinganya. Ceramah yang terdengar dari pengeras suara di aula Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tempat ia berada, tidak mengusik perhatiannya.

Remaja, 14 tahun itu lebih suka memandangi layar ponsel sembari membaca satu persatu status temannya di dinding facebook. Siang itu, harusnya Riyana tak tertahan di SKB. Layaknya remaja seusianya, ia harusnya tengah duduk di bangku sekolah mengikuti pelajaran bersama murid-murid lain.

Sebab tak lama lagi, ia akan menempuh ujian nasional. “Rencananya Mei nanti sudah UN [ujian nasional],” tutur remaja kelas 9 atau kelas 3 SMP itu, disambangi di SKB Bantul di Dusun Semail, Bangunharjo, Sewon, Selasa (2/2/2016).

Riyana adalah satu dari belasan anak keluarga mantan anggota Gafatar yang nasibnya kini tertahan di penampungan. Mereka dipulangkan paksa dari Mempawah, Kalimantan Barat ke Jogja atas instruksi pemerintah, lantaran aktivitas mereka bergabung di organisasi yang dilarang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu.

Riyana dan kedua orang tuanya harus menjalani masa penampungan selama empat hari di SKB Bantul sebelum dilepas hidup mandiri. Namun ia cemas bagaimana nasib pendidikannya kelak. Saat ini saja, ia sudah ketinggalan pelajaran selama sebulan. “Belum tahu mau sekolah di mana. Tadinya mau daftar sekolah di Kalimantan, tapi sekarang dikembalikan ke sini,” kata remaja berambut lurus itu.

Waliyem, ibu Riyana tak membayangkan sekolah anaknya bakal terhenti. Sejak meninggalkan Jogja Desember lalu, ia sudah berencana menyekolahkan putrinya di Kalimantan Barat. “Dulu Riyana sekolah di SMP di Pandak. Setelah terima rapot langsung berangkat, rapotnya sudah saya bawa,” ungkap warga asal Dusun Siangan, Triharjo, Pandak, Bantul itu.

Kini jangankan sekolah, untuk tempat tinggal pun keluarga Waliyem belum menemukan kepastian. Warga tempat keluarganya berasal dikabarkan menolak kepulangan mereka. Ia khawatir putrinya tidak dapat ikut Ujian Nasional. “Mudah-mudahan bisa, kata kawan saya yang di Boyolali, masih bisa didaftarkan UN,” perempuan 38 tahun itu berharap.

Terhentinya aktivitas belajar juga dialami Ulin, siswa kelas enam SD. Ia kini tertahan bersama ayah ibu dan adiknya di penampungan. “Dulu sekolahnya di Banguntapan,” ungkap bocah lelaki yang memanggul tas ransel berisi harta benda keluarganya itu.

Nasib pendidikan anak-anak keluarga Gafatar menjadi perhatian Kepala Dinas Sosial Bantul Suarman. Ia berjanji akan memudahkan akses anak-anak malang itu agar kembali bersekolah. “Kami sudah sampaikan ke dinas terkait agar sekolah menerima mereka kemana pun mereka mau sekolah,” Suarman tampak yakin.

Pemerintah menurutnya tidak akan membiarkan anak-anak asal Bantul itu putus sekolah. Pemerintah sementara menampung mereka selama empat hari di SKB sebelum dilepas ke keluarganya masing-masing. “Selama empat hari itu nanti mereka mendapat sosialisasi tentang kebangsaan, bela negara juga trauma healing untu anak-anak,” tutur Suarman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya