SOLOPOS.COM - Ilustrasi Penambangan (Dok/JIBI/Solopos)

Ilustrasi Penambangan (Dok/JIBI/Solopos)

Ilustrasi Penambangan (Dok/JIBI/Solopos)

Penambangan ilegal Lereng Merapi masih terus berlanjut. Kini warga mengeluhkan mulai menyusutnya air sumur sebagai dampak penambangan yang mulai merambah ke lahan lahan milik warga.
Harianjogja.com, JOGJA—Warga Peduli Lereng Merapi dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY meminta Pemkab Sleman bertindak tegas menghentikan penambangan pasir ilegal di kawasan lahan milik warga.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Penambangan ilegal dengan alat berat itu, kini semakin parah dan mengakibatkan debit air di sumur warga menyusut. Tak hanya itu, jalur evakuasi juga rusak berat.

“Penambangan ilegal ini sudah berlangsung sejak November [2014]. Dan yang ditambang bukan lagi sungai namun lahan milik warga. Warga yang terkena akibatnya,” ujar Direktur Walhi DIY,Halik Sandera saat beraudiensi ke kantor Harian Jogja di Jalan AM Sangaji No 41 Jetis Jogja, Senin (16/2/2015).

Halik didampingi aktivis Walhi, Suparlan dan sejumlah perwakilan warga menyebutkan, areal penambangan di lahan warga berada di empat desa di dua kecamatan. Yakni di Desa Wonokerto dan Girikerto di Kecamatan Turi) serta Desa Hargobinangun dan Purwobinangun di Kecamatan Pakem.

Jika penambangan dibiarkan terus menerus, lanjut Halik, akan merusak tata lingkungan dan ketersediaan air tanah secara keseluruhan di lereng Merapi.

“Dampaknya ke depan bukan saja untuk masyarakat lereng Merapi atau Sleman saja. Namun juga bisa meluas sampai ke Jogja dan Bantul. Sebab kawasan ini adalah kawasan resapan air,” imbuh Halik.

Hal senada diungkapkan, Tono, warga dan aktivis lingkungan Lereng Merapi. Menurutnya upaya mediasi dan permohonan penghentian penambangan kepada Pemkab Sleman sudah berkali kali dilakukan baik oleh warga maupun oleh pemerintah desa. Namun seperti membentur tembok.

“Penambangan tetap jalan. Kami sudah beberapa kali menggelar aksi massa dengan blokade jalan dan memohon ketegasan Pemkab. Saat ada razia dari Satpol PP, penambangan memang berhenti, setelah itu jalan lagi,” ujar dia.

Tono menjelaskan, penambangan berawal dari program normalisasi sungai. Pada saat itu memang masih legal. Alat berat pun masih boleh digunakan. Namun pada November, pemerintah daerah menghentikan proses normalisasi. Masalahnya kian berat karena penambang justru beralih ke lahan milik warga dan tetap menggunakan alat berat.

“Penambang membeli lahan tegalan milik warga dan dieksplorasi setiap hari. Rata-rata setiap hari bisa mencapai 500 truk. Warga yang menanggung akibatnya,” imbuhnya.

Ia berharap Pemerintah bersikap tegas dan tidak ragu ragu menutup aktivitas penambangan tersebut. Sebab masyarakat bukan saja menanggung kerusakan lingkungan, namun juga harus menanggung kerugian imaterial yang ditimbulkannya.

“Masyarakat secara psikis terintimidasi. Masyarakat resah dan saling curiga. Belum lagi masalah premanisme,” imbuhnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya