SOLOPOS.COM - Aktivitas penambangan liar pasir di kawasan Desa Gadingharjo, Rabu (5/8/2015) siang. (Harian Jogja/Arief Junianto)

Penambangan liar Bantul muncul di pesisir selatan

Harianjogja.com, BANTUL-Pemerintah kabupaten (Pemkab) Bantul kembali kecolongan oleh para penambang liar. Kali ini terjadi di kawasan pesisir selatan Bantul, tepatnya di Kecamatan Sanden.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Dari pantauan Harian Jogja, Rabu (5/8/2015) siang, setidaknya ada beberapa titik pengerukan pasir pantai di 2 desa, yakni Desa Gadingsari dan Desa Gadingharjo.

Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Gadingharjo, Aan Indra mengakui, aktivitas penambangan pasir itu sudah terjadi sejak 2012 lalu. Padahal, sepengetahuannya, aktivitas itu sudah sempat ditutup dan dilarang pada 2008 silam. “Sudah sempat berhenti, tapi sekitar 2012 lalu beroperasi lagi,” ucapnya.

Meski begitu, ia mengaku tak memiliki kekuatan dan kewenangan untuk melarang para penambang liar yang merupakan warganya sendiri itu. Selain lantaran harus berhadapan dengan warganya sendiri, ia pun kian disulitkan lantaran lahan yang ditambang itu merupakan milik pribadi.

Dijelaskannya, lahan yang ditambang itu, sebagian besar memang lahan bersertifikat pribadi. Tapi beberapa di antaranya ternyata ada yang tidak bersertifikat lantaran masih berstatus sebagai tanah istimewa dan tanah oro-oro.

Sebagai Kepala Desa, ia merasa sudah melakukan sosialisasi dan himbauan kepada warganya untuk menghentikan aktivitasnya itu. Pasalnya, sudah banyak warga lainnya yang ada di sekitar lokasi pengerukan pasir itu mengeluhkan angin dari arah laut yang terasa semakin kencang.

Hal itu disinyalir lantaran semakin merendahnya gumuk pasir akibat pengerukan itu. Ia mengakui, sebelum seperti sekarang, gumuk pasir itu terbilang cukup efektif memfilter angin dari arah laut ke darat. “Dulu tingginya itu ada kalau 3-4 meter. Sekarang ya seperti anda lihat sendiri,” ucapnya.

Tentu saja, aktivitas penambangan liar itu yang cukup tinggi membuat gumuk pasir di kawasan pesisir menjadi terus menyusut. Diakuinya, aktivitas penambangan liar pasir di kawasan Desa Gadingharjo itu bisa dilakukan selama 24 jam non stop.

“Tak terhitung sudah berapa jumlah pasir yang dibawa keluar. Saat saya tanya, truk-truk itu justru berasal dari luar Bantul, seperti dari Klaten dan Boyolali,” keluhnya.

Tingginya permintaan pasar terhadap pasir pesisir selatan Bantul itu selain kualitas pasirnya yang tergolong baik, juga lantaran harga yang dipatok para penambang tergolong murah. Beberapa pekan lalu, ketika ia menanyai beberapa warganya, mereka mengaku, harga per ritnya hanya sekitar Rp300 ribuan saja.

Terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul Dwi Daryanto menegaskan, fungsi gumuk pasir yang ada di pesisir selatan itu tidak hanya sebagai lahan pertanian dan objek wisata saja.

Lebih dari itu, gumuk pasir itu juga sangat efektif untuk mengurangi kecepatan angin dari laut lepas yang mengarah ke pemukiman warga. “Jadi kalau gumuk itu terus dikeruk, tak heran kalau warga merasakan angin semakin kencang,” ucapnya.

Selain itu, gumuk pasir itu juga cukup efektif sebagai tanggul jika suatu saat nanti terjadi tsunami dan abrasi. Jika debit pasir itu terus berkurang, maka kemampuan pasir untuk menahan arus air pun jauh berkurang. “Kalau sudah seperti ini, menurut saya sangat membahayakan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya