Jogja
Rabu, 4 Januari 2017 - 02:40 WIB

PENAMBANGAN PASIR BANTUL : Komisi C DPRD Bantul Minta Pemdes Gadingsari dan Gadingharjo Mampu Beri Solusi

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi.dok

Seharusnya Pemdes bisa berbuat lebih untuk menghentikan praktik ilegal tersebut.

Harianjogja.com, BANTUL-Jalan buntu yang ditemui pihak Pemerintah Desa (Pemdes) baik Gadingharjo maupun Gadingsari untuk menghentikan praktik penambangan pasir di wilayah mereka disesalkan oleh DPRD. Menurut kalangan dewan, seharusnya Pemdes bisa berbuat lebih untuk menghentikan praktik ilegal tersebut.

Advertisement

Hal itu diakui oleh Wakil Ketua Komisi C DPRD Bantul Eko Sutrisno Aji. Saat ditemui di Gedung DPRD Bantul, Selasa (3/1/2017) politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengakui, sebagai pihak terdekat dengan masyaraka, Pemdes seharusnya bisa menjalankan perannya jika memang pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul tak berkutik lantaran alasan regulasi.

Itulah sebabnya, ia mendesak pihak Pemdes kedua desa itu untuk melakukan pendekatan informal, baik terhadap warga pemilik lahan maupun warga yang menambang agar segera menghentikan praktik penambangan itu. “Karena meski kewenangan ada di Pemerintah DIY, kalau ada apa-apa [bencana], warga Bantul yang kena. Jadi tidak ada kata angkat tangan atau pun lempar handuk,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia pun menegaskan akan segera melakukan inspeksi di kedua dusun yang menjadi lokasi penambangan itu, yakni Dusun Wonoroto Desa Gadingsari, dan Dusun Karanganyar Desa Gadingharjo.

Advertisement

Pada dasarnya, ia mengakui penambangan di dua dusun itu sudah berlangsung sejak dua tahun silam. Lantaran kewenangan penindakan sepenuhnya ada di tangan Pemerintah DIY, pihaknya pun tak bisa berbuat apa-apa. “Penambangan di sana terkesan kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Gadingsari Bowo Nurcahyo sempat mengaku angkat tangan saat dikonfirmasi terkait penambangan itu. Ia mengaku sempat memberikan teguran terhadap para penambang sekitar dua tahun silam. “Ketika itu, mereka sempat berhenti. Tapi beroperasi lagi. Ketika kami tegur, kami malah disangka yang macam-macam,” ujarnya.

Sebagai pihak pemerintah desa, ia mengaku tak memiliki kekuatan hukum apapun dalam melakukan penertiban terhadap penambangan liar itu. Itulah sebabnya, tanpa dibekali landasan hukum yang kuat, pihaknya memilih untuk diam. “Jujur saja, kami tak berani mengingatkan,” ungkapnya.
Selain itu, status tanah juga kerap menjadi tameng para pemilik lahan untuk membenarkan praktik ilegalnya. Dikatakannya, status tanah yang ditambang itu beragam, mulai dari lahan pribadi bersertifikat letter C, hingga tanah Sultan Ground (SG).
Ia tak menampik, praktik ilegal itu hanya menguntungkan segelintir orang saja. Lebih dari itu, penambangan itu pun berdampak buruk pada lingkungan sekitar. Mulai dari rusaknya lahan pertanian, hingga semakin berkurangnya debit air. “Kalau petani penggarapnya, justru berasal dari dusun lain. Ada juga sih yang beberapa dari Wonoroto,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif