Jogja
Rabu, 1 November 2017 - 10:40 WIB

Penanganan Bencana Belum Ramah terhadap Warga Difabel

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - HArianJogja/Gigih M. Hanafi Siswa menangis saat mengikuti simulasi penanganan bencana banjir dan tanah longsor di kawasan SD Bangunrejo 1 dan 2, Jogja, Kamis (4/6). Tujuan simulasi di karenakan lokasi SD terletak di wilayah rawan bencana serta peresmian SD Negeri Bangunrejo sebagai Sekolah Siaga Bencana oleh walikota Jogja.

Perangkat penanganan kebencanaan belum bisa diakses difabel.

Harianjogja.com, SLEMAN— Penanganan bencana di Indonesia dinilai belum ramah bagi penyandang disabilitas alias difabel. Akses ke lokasi pengungsian hingga perangkat kebencanaan belum sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

Advertisement

Kepala Subdit Peran Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pangarso Suryotomo, mengatakan lokasi pengungsian biasanya disiapkan dalam keadaan darurat sehingga ruangan atau fasilitas yang tersedia belum ramah penyandang disabilitas. Selain itu, Pangarso juga mengatakan masih sangat sedikit Early Warning System (EWS) di Indonesia yang bisa gampang diakses oleh seluruh penyandang disabilitas. Ia mencontohkan sebagaian besar EWS umumnya memanfaatkan sirene sebagai pertanda yang tentunya menyulitkan bagi penyandang tuna rungu.

Menurutnya, harus ada alternatif berbeda yang sifatnya inklusi sehingga bisa dipahami semua orang sata terjadi bencana. Ia mencontohkan salah satunya dengan menggunakan lampu sebagai pengganti sirine. Dikatakan pula jika keberadaan EWS yang inklusi bukan hanya sekadar tanggung jawab pemerintah namun juga semua lapisan masyarakat sehingga bisa memenuhi kebutuhan yang ada.

Penyandang disabilitas sendiri, ujar Pangarso, kini semakin terlibat dalam penanganan bencana termasuk upaya mitigasinya. “Namun, yang juga harus diperhatikan ialah kemunculan disabilitas pasca bencana yang kerap luput dari pendataan,” katanya ditemui seusai seminar Perluasan Implementasi Penanggulangan Bencana Inklusif di Maguwoharjo, Depok, Sleman, Selasa (31/10/2017).

Advertisement

Hal ini dinilai penting untuk penanganan ke depannya. Ia menyebutkan jika dalam gempa Jogja pada 2006 silam memunculkan 156 penyandang disabilitas baru di Klaten.

Endah Susilawati dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mengatakan, jika mandat inklusi dalam kebijakan penanggulangan bencana sudah diatur dalam UU No.8/2016 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyatakan jika kaum disabilitas harus mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya bencana.

Selain itu juga UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana mengenai prioritas perlindungan bagi kelompok rentan salah satunya berupa penyelematan dan evakuasi. “Karena itu, disabilitas harus ikut dilibatkan dalam perencanaannya,” kata penyandang low vision ini.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif