SOLOPOS.COM - Foto Jalan Malioboro JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto

Harianjogja.com, JOGJA-Belajar dari pengalaman sebelumnya, implementasi kemitraan pemerintah swasta (KPS) umumnya bermasalah. Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Didik Purwadi menilai terbatasnya akses pemerintah dalam melakukan pengawasan dan masyarakat banyak dirugikan karena kurang terlibat jadi faktor penyebab.

Dulu, kata dia, Pemda DIY terpikirkan menata Malioboro dengan model KPS lantaran ketiadaan anggaran untuk mengimplementasikan studi penataan Malioboro.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

“Namun sekarang ada beberapa peluang dengan mengandalkan dana keistimewaan untuk melakukan proyek berbasis keistimewaan,” katanya.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus Rayanto, Pemda pada dasarnya belum memiliki payung hukum untuk melakukan penataan di Malioboro dengan menggunakan dana keistimewaan, karena belum memiliki peraturan daerah istimewa (perdais) turunan sebagai pengganti peraturan pemerintah yang lebih detail mengatur soal tata ruang dan budaya.

Ia mengatakan, sayembara penataan Malioboro yang digelar Dinas Pekerjaan Umum DIY sebenarnya dibuat juga lantaran untuk memberi waktu pembahasan perdais turunan. Harapannya ketika sayembara selesai, perdais juga sudah disahkan. Namun nyatanya, sampai hasil sayembara itu dilanjutkan dengan detail engineering design, perdais turunan juga belum dibahas sedikitpun.

“Kalau peraturan hukum belum jadi, pengaturan rawan diprotes masyarakat,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya