SOLOPOS.COM - Beberapa gubuk berdiri di lahan yang menjadi rebutan PT.KAI dan Trah HB VII di Bumijo. (Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja)

Penataan Stasiun Tugu, konflik terjadi antara PT KAI dan trah HB VII

Harianjogja.com, JOGJA — PT.Kereta Api Indonesia (KAI) saling mengklaim kepemilikan hak pengelolaan lahan Sultan Ground (SG) seluas sekitar 8.000 meter di utara Stasiun Tugu, Kampung Bedeng, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis. Dua patok yang dipasang PT.KAI di lahan tersebut, Jumat (2/12/2016) pagi kemarin, dibongkar lagi oleh warga yang mengaku trah HB VII.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

(Baca Juga : PENATAAN STASIUN TUGU : Kraton Dukung Penataan Stasiun Tugu)

Manager Pengusahaan Aset PT.KAI Daerah Operasional 6, Tiyono mengakui penertiban aset di wilayah DIY belum bisa optimal karena berkaitan dengan lahan SG.

“Tapi untuk yang di dalam stasiun semua sudah selesai, tinggal aset-aset yang diluar stasiun,” ujar Tiyono, Jumat (2/12/2016)

Pantauan Harianjogja.com, dua papan larangan penggunaan tanah di lahan 8.000 meter persegi di Bumijo itu dibongkar warga. Lahan yang tadinya dipenuhi pohon-pohon itu sudah rata,

“Sengaja kami ratakan dengan alat berat menghabiskan dana Rp8 juta,” kata Subrayanto, salah satu orang suruhan trah HB VII RM Triyanto.

Menurutnya lahan itu akan digunakan untuk kepentingan warga yang tidak punya rumah. Total ada 52 kepala keluarga (KK), semua warga Bumijo yang akan menempati lahan tersebut dengan harga sewa Rp5.000 per meter per tahun. Uang sewa masuk kepada RM Triyanto, yang diklaim sebagai ahli waris dari HB VII.

Sri Hermani W Suryosumarno, trah HB III yang dikuasakan oleh RM Triyanto untuk mengurusi persoalan tersebut, mengatakan PT.KAI tidak bisa menunjukan hak pengelolaan lahan SG. Sebab, menurutnya dulu HB VII memang memberikan hak pengelolaan kepada PJKA (sekarang PT.KAI),

“Perjanjian dengan PJKA yang kemudian dimasukan dalam groundkaart sudah berakhir sejak 1971,” kata Hermani sambil menunjukan bukti perjanjian pengelolaan lahan SG dan PJKA.

Kemudian pada 1981 dan 1987 HB IX mengirimkan surat permintaan pengembalian lahan SG melalui Direktorat Jenderal Perhubungan, namun tidak pernah ditanggapi. Ia mengklaim lahan SG itu merupakan hak milik pribadi HB VII dengan istilah hak egendon yang sampai sekarang masih terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya