SOLOPOS.COM - UN CBT diuji coba di SMAN 1 Surabaya, Senin (23/3/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Herman Dewantoro)

Pendidikan Bantul, sejumlah sekolah mengaku trauma

Harianjogja.com, BANTUL — Beberapa bulan jelang Ujian Nasional (UN) sejumlah SMP negeri di Bantul justru mengendurkan persiapan. Kebanyakan kepala sekolah tersebut mengaku masih trauma untuk menggelar persiapan yang melibatkan donasi dari orang tua siswa.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Salah satunya adalah SMP Negeri 1 Piyungan. Kepala SMP Negeri 1 Piyungan Warsito mengaku pihaknya sama sekali tak berani menggelar persiapan yang melibatkan uang dari orang tua siswa. Seperti misalnya tambahan pelajaran.

“Saya tidak berani mas. Di sekolah kami tidak ada. Saya menunggu perintah dari pemerintah saja lah,” ucapnya kepada wartawan, Jumat (24/2/2017) siang.

Memang, paska-dilaporkan oleh salah satu lembaga pemerhati pendidikan terkait dugaan pungutan yang dilakukan pihaknya kepada orang tua siswa, ia mengaku masih trauma. Itulah sebabnya, kali ini dirinya memilih untuk tidak lagi mengadakan kegiatan yang melibatkan uang milik orang tua siswa.

Tak jauh beda, Sayuti, Kepala SMP Negeri 1 Sanden pun melakukan hal yang sama. Saat dihubungi, ia mengaku sejak tahun ajaran lalu, pihaknya sudah memutuskan untuk tidak menggelar kegiatan di luar jam sekolah yang berkaitan dengan uang orang tua siswa.

Saat ini, di sekolahnya memang tengah berlangsung persiapan ujian berupa kegiatan tambahan pelajaran dan simulasi pengerjaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Namun ia menegaskan bahwa pihak sekolah sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. “Semuanya diinisiatori oleh orang tua siswa. Pembayaran pun dikoordinir oleh mereka sendiri,” katanya saat dihubungi terpisah.

Sementara untuk pembayarannya, selama 6 bulan tambahan pelajaran itu digelar, disepakati pembayaran sebesar Rp200.000 per siswa. Pengelolaan keuangan pun diakuinya dipegang langsung oleh kalangan orang tua siswa sendiri. “Saya hanya berpesan kepada mereka [orang tua siswa], siswa miskin digratiskan,” tambahnya.

Begitu pula SMP Negeri 2 Bambanglipuro. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Bambanglipuro Denok Widarti menjelaskan, belum lama ini pihaknya juga menggelar kelas khusus tambahan pelajaran. Sama dengan SMP Negeri 1 Sanden, kelas tambahan pelajaran juga digelar secara mandiri oleh orang tua siswa.

Hanya saja, jika di SMP Negeri 1 Sanden, semua siswa diharuskan ikut, tidak demikian dengan SMP Negeri 2 Bambanglipuro. Diakuinya, tambahan pelajaran itu hanya diikuti oleh siswa atas persetujuan orangtuanya.

Adapun tarif yang harus dibayar per siswa agar bisa mengikuti kelas tambahan pelajaran itu sebesar Rp3.000 per pertemuan. Dalam sebulan, disepakati kelas tambahan pelajaran itu digelar 8 kali. “Dari total 436 siswa kami, hanya sekitar 90 siswa saja yang ikut,” katanya.

Terpisah, Ketua Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Bantul Zahrowi menegaskan, pihak sekolah seharusnya tak perlu takut untuk menggelar tambahan pelajaran tersebut. Terlebih jika alasan ketakutan itu dihubungkan dengan potensi dugaan pungutan liar.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.75/2016 tentang Komite Sekolah, orang tua siswa yang tergabung dalam Komite Sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya demi peningkatan mutu pendidikan. Itulah sebabnya, orang tua siswa justru memiliki kewajiban untuk menjaga mutu pendidikan.”Jadi tidak perlu takut. Ada landasan hukum yang kuat kok,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya