SOLOPOS.COM - Putus sekolah ilustrasi (JIBI/dok)

Putus sekolah ilustrasi

Pagi itu, matahari belum begitu tinggi, namun Doni, 13, bergegas bangun dari tempat tidurnya.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Ditemani Nuri, 10, dan Maemunah, 35, ketiganya berjalan meninggalkan rumah petak di salah satu sudut kampung di Kawasan Gondomanan, Kota Jogja.

Setelah menempuh perjalanan satu setengah jam dengan berjalan kaki dan menelusuri jalan protokoler di Kota Gudeg, tibalah ketiganya di perempatan Ringroad Selatan, Ndruwo.

Tak banyak kata terucap dari ketiganya. Sebuah kotak berisi nasi, telur dadar dan piring langsung dikeluarkan di pinggir perempatan jalan yang menghubungkan antara Bantul dan Jl Parangtritis tersebut.

Doni dan Nuri dengan lahap menyantap makanan yang ada di hadapannya, tanpa mempedulikan ramainya lalu lintas yang ada di sekitar kawasan tersebut.

Sementara, Maemunah memilih untuk memperhatikan kedua belahan hatinya sarapan pagi. Sesekali dirinya berbincang dengan dua pengamen yang terlebih dahulu berada di belakang sebelah barat lampu merah perempatan tersebut.

“Saya makan dulu, ya. Sebentar, nanti kita kerja,” kata Doni.

Genap setahun setengah sudah, Doni dan teman-temannya mengamen di perempatan jalan tersebut. Bagi Doni, pekerjaan mengamen bukanlah pekerjaan yang hina.

Dirinya mengaku tekat memilih tidak meneruskan sekolah ke SMP seusai lulus dari salah satu SD di kawasan, Kricak, Jetis, Jogja, setahun setengah sudah bulat.

“Saya ingin membantu orangtua saja, kalau pun mau sekolah lagi, enggak ada biaya,” ujarnya.

Meski risiko yang dihadapi Doni tidak setimpal dengan pendapatan yang didapatkan dari kegiatan mengamen, dia tetap semangat.

Selain mengubah kulitnya menjadi hitam, dan ancaman tertabrak sepeda motor dan mobil tidak mampu menyurutkan niatnya. Apalagi, Doni sadar keluarganya hidup jauh di bawah kemiskinan.

“Saya sudah satu setengah tahun di sini. Sejauh ini, ada dua teman saya yang memainkan musik, saya yang nari bersama Nuri,” ungkapnya.

Selain dibantu Nuri, Doni juga dibantu Maemunah. Ketiganya saling bergantian menari topeng dan menghibur pengguna jalan meski alas kaki. Jika keberuntungan datang, besaran pendapatan dari mengamen bisa ditabung dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Ya, kadang banyak. Kadang juga sedikit,” terangnya.

Untuk bisa melanjutkan roda kehidupan keluarga, Maemunah mengungkapkan, suaminya pun juga bekerja sebagai pengamen namun di tempat yang berbeda. Jika ketiganya memilih perempatan Ndruwo sebagai tempat mencari nafkah, suami Maemunah memilih keliling kampung dengan gitar tuanya.

“Bapaknya ngamen muter. Saya, Nuri dan Doni di sini. Bapaknya yang muter-muter daerah Gondomanan sana,” imbuh Maemunah.

Sementara Nuri, mengaku dirinya terpaksa harus putus dari salah satu SD dikawasan Kricak, 5 bulan lalu, padahal saat itu gadis kecil itu baru duduk di kelas 4 SD. “Bantu kakak dan ibu disini,” singkat Nuri.

Apa yang dilakukan Doni bersama dengan keluarganya merupakan satu dari sebagian besar kegiatan yang dilakukan anak yang belum beruntung untuk mengenyam pendidikan.

Ketua Lembaga Sosial Hafara yang memfokuskan diri kepada penanganan anak jalanan, Habib Wibowo mengatakan persoalan anak jalanan sebenarnya kompleks. Selain permasalahan pendidikan yang terpasung, kepedulian semua pihak menjadi sangat penting untuk mengentaskan permasalahan tersebut.

Perlu adanya sinergitas bersama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, masyarakat juga harus dilibatkan mengatasi masalah tersebut.

Habib mengungkapkan selama ini permasalahan yang masih mengganjal dalam mengentaskan kondisi yang dialami anak jalanan, selain persoalan kepedulian juga disebabkan tekat dari anak tersebut.

Ada keengganan dari sebagian anak jalanan untuk lepas dari kondisi yang selama ini dijalani, meski berbagai upaya telah dilakukan. Memang tidak semua mau, ada beberapa yang memilih tetap dijalan. Dan inilah yang harus jadi perhatian bersama, ungkapnya.

Di Hafara sendiri, sambung Habib, sebanyak 30 anak jalanan yang telah kembali mengikuti proses sekolah non formal di Selter yang ada di daerah Kasihan. Sedangkan 100 anak jalanan lainnya memilih nomaden meski menempuh pendidikan yang sama.



Tanpa adanya penanganan dan perhatian khusus dari berbagai pihak, persoalan yang ada tidak akan segera bisa dituntaskan, pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya