SOLOPOS.COM - Sapto Mulyono (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)

Sapto Mulyono (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)

“Tidak ada anak yang bodoh. Semua anak pintar, tergantung bagaimana cara menangani mereka.”

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Kalimat tersebut diucapkan Sapto Mulyono, trainer Ganesha Operation dalam acara seminar pendidikan SMP/SMA se-Wonosari bertema Revolusi Belajar Meraih Prestasi Spektakuler di Balaidesa Kepek, Wonosari, Minggu, (6/5). Sapto menjelaskan penanganan belajar dengan metode yang benar dapat membantu melejitkan prestasi siswa.

Penanganan tersebut salah satunya telah dirintis Ganesha Operation melalui metode revolusi belajar. Sapto menjelaskan konsep yang ditawarkan dalam metode ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan otak kanan dan otak kiri. Penggunaan kemampuan otak kanan akan membuat pembelajaran menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

“Revolusi belajar adalah suatu perubahan yang sangat cepat dalam teknik belajar. Selama ini sebagian besar siswa cenderung memakai otak kiri. Kami menawarkan konsep pengoptimalan otak kanan yang lebih kreatif dan imajinatif,” jelas Sapto yang juga kepala bagian marketing Ganesha Operation Jawa Tengah dan Gunungkidul kepada Harian Jogja, Minggu (6/5).

Sapto melanjutkan, proses berpikir otak kiri bersifat logis, sistematis dan analitis, sedangkan otak kanan lebih bersifat kreatif, tidak teratur, dan menyeluruh. Revolusi belajar merupakan terobosan Ganesha Operation yang terinspirasi dari cara kerja kedua otak tersebut.

“Rumus-rumus yang kami pakai berasal dari kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahami anak,” kata Sapto.

Selain metode penanganan yang benar, yang tak kalah penting adalah mengenali kecenderungan cara belajar anak. Ganesha Operation menerapkan sistem modalitas yang memungkinkan mereka mengenali tiga karakter belajar yang meliputi visual, auditorial dan kinestetik.

Mulai 2012, Ganesha Operation mulai mengenalkan revolusi belajar sejak dini pada siswa kelas VII SMP dan kelas X SMA. Sapto menjelaskan hal tersebut sejalan dengan tuntutan nilai ujian akhir nasional (UAN) dan ujian masuk perguruan tinggi maupun SMA yang semakin meningkat.

“Tahun-tahun lalu kebanyakan mulai dari kelas VII dan kelas XII karena suksesnya ditentukan dari nilai UAN. Namun untuk saat ini tuntutan nilainya tidak sama dengan tahun sebelumnya. Untuk bisa melanjutkan di SMA Rintisan Sekolah Berstandar Internasional misalnya, harus ada nilai minimal dari rapor mulai kelas VII hingga kelas IX,” urai Sapto.

Evi, salah satu siswi kelas X SMA N 2 Wonosari menilai pentingnya bimbingan belajar di luar sekolah sejak dini. Hal itu menurutnya dapat membantunya memahami pelajaran di sekolah dengan lebih mudah. “Saya pikir ikut bimbingan belajar sejak kelas X itu perlu karena bisa membantu kami memahami pelajaran di sekolah,” ujarnya.

Seminar yang dibagi menjadi dua sesi itu dihadiri tak kurang dari 600 siswa SMP dan SMA di Gunungkidul. Seminar berlangsung mulai pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya