SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

JOGJA—Sejumlah sekolah di bawah Yayasan Majelis Luhur Tamansiswa terpaksa ditutup. Masalah dan dan kekurangan siswa  menjadi faktor utama sekolah Taman Siswa kritis.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Padahal berdasarkan data Yayasan Majelis Luhur Taman Siswa, pada 1990-an jumlah anak didik yang belajar di perguruan Taman Siswa mencapai 200.000. Saat ini jumlahnya tinggal 100.000.

Ketua Harian Majelis Luhur Taman Siswa Ki R. Suharto menyatakan persoalan klasik kekurangan murid memang tak hanya dirasakan Taman Siswa yang menyediakan fasilitas pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, namun juga sekolah swasta lainnya.

Hanya, persoalan di Taman Siswa lebih miris lagi karena perguruan ini mengutamakan nilai kerakyatan, kebudayaan, budi pekerti dan kebangsaan. Taman Siswa yang nafasnya untuk pemerataan pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Dengan kondisi seperti itu, Taman Siswa menurutnya tak dapat menarik biaya tinggi layaknya sekolah swasta saat ini. “Karena semangatnya Ki Hajar Dewantara adalah pemerataan pendidikan bukan peninggian pendidikan, kami ini sekolah kerakyatan dari kalangan ekonomi ke bawah pun bisa,” kata Ki. R. Suharto saat ditemui Harian Jogja, Kamis (10/5)..

Sayangnya, dalam perkembanganya sekolah yang merakyat ini justru harus bersaing sendiri dengan kondisi seadanya melawan sekolah-sekolah yang punya fasilitas lebih mapan. Buntutnya, sejumlah sekolah baik di Jawa maupun luar Jawa kini banyak yang tutup akibat kekurangan dana sebagian masih hidup namun kondisinya memprihatinkan.

Ia mencontohkan sebuah sekolah di daerah Selat Panjang, Riau tutup karena kekurangan dana. Ada pula di Klaten dua tahun lalu yang fungsinya kini tak lagi sebagai sekolah namun dijadikan tempat pelatihan petugas keamanan. Di Jogja sendiri masih beruntung karena beberapa tahun terakhir belum ada yang dilaporkan tutup. Hanya satu sekolah di Playen, Gunungkidul yang kondisinya kini bagai hidup segan mati mati tak mau.

Di DIY kini tercatat ada sekitar 25 sekolah yang masih bertahan mulai dari TK hingga perguruan tinggi dari total 300 sekolah yang tersebar di Indonesia. Meski kondisi saat ini serba kekurangan, Taman Siswa menurutnya tak akan goyah untuk berdiri sebagai sekolah rakyat.

“Misi kami ke depan tetap menjadi sekolah kerakyatan yang menonjolkan budi pekerti dan semangat kebangsaan,” tuturnya. Ki. R Suharto mengakui pemerintah kerap menggulirkan bantuan seperti sarana teknologi seperti komputer, namun bantuan itu jauh lebih sedikit dibanding operasional layak bagi seluruh sekolah. Ia berharap pemerintah tetap peduli terhadap kondisi Taman Siswa saat ini.

Ke depan Tamansiswa mulai memikirkan untuk mencari sumber pendanaan lain agar perguruan ini tetap bernafas. Di antaranya menggandeng para alumni untuk ikut berkontribusi pada keberlangsungan pendidikan Taman Siswa.

Buangan

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Taman Dewasa Jetis Kristiani mengibaratkan sekolahnya adalah bengkel karena menerima siswa buangan yang dianggap tak layak belajar di sekolah asalnya.

“Banyak sekali siswa yang kami terima itu broken home, mereka itukan sangat tergantung dengan kondisi dan perilaku orangtuanya, jadi nggak semuanya itu kesalahan anak,” kata Kristiani.

Meski di sisi lain sekolah harus hidup dengan kondisi terbatas. Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang digelontorkan pusat menurutnya tak akan cukup memajukan fasilitas dan kebutuhan teknologi guna kemajuan sekolah. Di tengah keterbatasan itu SMP Taman Dewasa Jetis masih berupaya tetap dapat bersaing dengan sekolah lain. Misalnya tetap mengikuti olimpiade nasional atau kegiatan akademik lainya, selain proses pembelajaran ekstrakurikuler untuk meningkatkan mutu akademik. Beruntung saat ini SMP Taman Dewasa Jetis tak kekurangan murid. Bahkan yang mendaftar melebihi kuota yang tersedia.

Ki Budi Sudarmasto, Ketua Komite Sekolah Taman Dewasa menyadari memang ada permasalahan yang dihadapi oleh Taman Siswa saat ini sehingga membuat namanya surut. Salah satu masalahnya adalah soal dana. Ki Budi menyadari bahwa Taman Siswa kini membutuhkan suntikan dana untuk segala operasional sekolah. “Di sini bahkan banyak pamong (guru) yang bekerja untuk mengabdi tanpa memikirkan masalah nafkah,” jelasnya kemudian.

Depa, salah satu siswa SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan mengatakan, kegiatan seni budaya pendidikan budi pekerti selalu diajarkan di sekolah ini.

“Di sini banyak sekali kegian seninya, meski sekolah lain ada lapangan olahrga yang bagus seperti basket tapi di sini banyak kegiatan seni budaya,” ungkapnya.

Depa dan teman-temanya juga bangga dapat bersekolah di sana karena sekolahnya rintisan pahlawan nasional. Meski soal kemajuan teknologi baru tahun ini mereka rasakan setelah ada bantuan komputer dan internet dari pemerintah.

Tri Haryanto salah satu wali murid TK Ibu Pawiyatan mengatakan, tak hanya menonjolkan budi pekerti dan kebangsaan sekolah Tamansiswa sangat terjangkau masyarakat. “Secara biaya lumayan terjangkau, fasilitasnya juga nggak buruk, lumayan bagus nggak kalah dengan sekolah lain,” pungkasnya.

Pengamat pendidikan DIY Wuryadi menilai salah satu penyebab Taman Siswa tertinggal karena tak ada inovasi di bidang teknologi. Ïtu sudah klasik, biaya murah, pendanaan tidak ada jelas tidak akan ada inovasi. Sementara murid pilihanya kan soal fasilitas dan teknologi,” ujarnya.

Kendati demikian sekolah kerakyatan ini menurutnya harus diselamatkan. Bagaimanapun Taman Siswa tetap mempertahankan nilai pemerataan pendidikan tak pandang bulu kaya atau miskin. Pemerintah harusnya berperan memperjuangkan lembaga ini tetap hidup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya