SOLOPOS.COM - Kafe ilustrasi (andyfishwrap.blogspot.com)

Kafe ilustrasi (andyfishwrap.blogspot.com)

Semilir angin memenuhi ruangan di lantai dua sebuah bangunan. Seorang laki-laki berkemeja putih mulai menyalakan sebatang rokok yang berada di sela-sela jarinya. Beberapa orang  yang memasuki ruangan tersebut membuatnya beranjak ke belakang meja bar, mengambil daftar menu, dan memberikan kepada para tamunya.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Tak lama setelah selesai melayani, ia kembali duduk di tempat semula dan mulai berbincang dengan Harian Jogja yang sedari awal mengamatinya.

“Yah, seperti ini keseharian saya,” ucap YA salah seorang pemilik sebuah coffee shop di wilayah Kecamatan Depok, Selasa (8/5) siang.

YA menyebutkan sudah hampir 10 tahun berkecimpung di bisnis minuman kopi. Ketika disinggung perihal izin usaha, dengan jujur ia mengaku tidak pernah mengurus izin membuka usaha kepada pihak manapun. Alasannya, usahanya yang belum besar akan terbebani dengan pajak jika memiliki izin usaha.

“Ujung-ujungnya perizinan kan pasti bayar pajak,” ungkap dia. Bahkan, setelah izin usaha, lanjutnya, konon harus membayar izin menyetel musik terkait dengan royalti yang berarti semakin mengurangi pendapatan pemilik kafe.

Diceritakannya, sekitar enam tahun lalu, ketika coffee shop mulai menjamur di wilayah Depok, ia bersama dengan pengusaha lainnya sempat mengadakan pembahasan terkait izin usaha. Hasilnya, para pedagang pemula merasa keberatan jika harus mengurus perizinan yang bermuara pada pungutan pajak. “Pajak sebesar 10 persen jika dibebankan pada pengusaha akan rugi, sedangkan jika dibebankan pada produk yang dijual akan memberatkan pembeli,” terang laki-laki berusia 30-an tahun ini.

Sejauh ini, YA tidak pernah bermasalah dengan penduduk sekitar. Ia tidak membantah jika masyarakat setempat biasanya mendatangi kafe atau tempat nongkrong yang baru buka untuk menawarkan pengelolaan parkir.

Sebagian tempat nongkrong mengiyakan, akan tetapi ada juga yang menolak seperti yang pernah dilakukannya. Diakuinya, sempat ada “penguasa” setempat yang mendatanginya minta jatah pengelolaan lahan parkir akan tetapi permintaan tersebut ditolaknya. “Untungnya juga mereka tidak reseh,” kata laki-laki yang usahanya dibuka dengan sepengetahuan RW setempat.

Ia menambahkan, selama ini belum pernah mendengar tempat nongkrong seperti coffee shop memiliki backing, akan tetapi ia juga tidak mengetahui secara pasti untuk tempat nongkrong yang menjual minuman beralkohol. “Mungkin ada ya untuk keamanan atau bahkan dari oknum kepolisian,” duganya.

Selama menjalankan usahanya, ia juga tidak pernah didatangi pihak kecamatan atau desa setempat. Kabar pendataan tempat hiburan, sebutnya, sudah lama tersiar tapi sampai detik ini ia belum pernah mengikutinya.

Andaikata izin diberlakukan, ia lebih memilih untuk membayar retribusi kepada RT atau RW setempat karena hasilnya lebih nyata untuk masyarakat sekitar ketimbang membayar ke pemerintah dengan jenjang yang lebih tinggi. “Kemungkinan pungutan dikorupsi lebih tinggi dengan dalih berbagai potongan,” pungkas dia.

Peraturan

Sejumlah kendala masalah mengurus izin gangguan (HO) di kawasan perkotaan di Kabupaten Sleman mencuat. Untuk mengurus HO usaha, pengusaha bisa merogoh kocek hingga jutaan rupiah.

Salah satu anggota Paguyuban Pedagang Babarsari Joni, 32, mengaku pernah mendengar masalah ini dari sejumlah pengusaha. Bahkan pihak desa mengaku telah memasukkan dalam peraturan desa yang jelas-jelas bertentangan dengan peraturan daerah Kabupaten Sleman.

“Kalau mendengar pernah ada pengusaha yang diminta uang sampai jutaan mulai dari tingkat RT hingga desa padahal hanya untuk mengurus HO saja. Namun saat ditanya, oknum petugas tersebut selalu berkilah bahwa sudah ada dalam perdes desa setempat,” jelas Joni.

Joni sendiri kini susah mengurus HO bukan karena masalah pungutan yang tidak jelas itu. Joni mengaku kini pihaknya susah mengurus izin lantaran masih ada sengketa tanah di rumah toko (ruko) Babarsari.

“Makanya Desa Condongcatur tidak memberikan izin karena kelihatannya ruko itu sengketa dengan pengembang. Dan kini, ruko Babarsari hanya dibiarkan saja sedangkan kami yang berjualan juga bingung bahkan untuk mengurus HO kami tidak bisa,” kata Joni.

Joni dan rekan-rekan paguyuban ruko Babarsari hanya bisa berharap semoga sengketa yang terjadi ini bisa segera diselesaikan. “Kami hanya ingin berdagang dengan tenang dan nyaman. Selama ini memang sudah nyaman, tapi kalau Satpol PP Sleman datang kami jadi kerepotan karena tidak bisa menunjukkan HO,” tambah Joni.

Adapun sejumlah kepala desa belum bisa dimintai konfirmasinya terkait dugaan pungutan dari perangkat desa. Kepala Desa Condongcatur Marsudi misalnya sedang melayat salah satu warganya. Demikian halnya dengan Camat Depok Krido Suprayitno yang mengaku belum bisa memberikan keterangan terkait perdes pengutan ini.

“Kami belum bisa memberikan keterangan soal perdes punguntan pembuatan HO. Namun kami akan menyelediki hal ini lebih lanjut. Yang jelas kalau sampai ditemukan perdes soal pungutan pembuatan HO bisa dikenakan denda,” kata Krido.

Sementara itu, untuk mengrus HO menurut Kepala Seksi Operasi Penegakan Perundang-undangan Pemkab Sleman Rusdi Rais seharusnya tidak ada pungutan di tingkat RT hingga Kecamatan. Kalaupun membayar administrasi tentunya tidak sampai jutaan.

“Namun memang di lapangan kami selalu mendapatkan laporan susahnya mencari HO di wilayah perkotaan Kabupaten Sleman. Mereka kebanyakan lebih memilih disidangkan Satpol PP dibandingkan harus mengurus HO dengan pungutan sampai jutaan,” kata Rusdi.

Jika ingin mengurus HO tambah Rusdi harusnya pengusaha hanya mengeluarkan biaya Rp200.000 saja. Sedangkan untuk tingkatan RT hingga Desa biasanya memang ada biaya administrasi yang nilainya hanya ribuan rupiah.



Razia

Adapun Polsek Depok bakal merazia tempat hiburan guna menekan tingkat kriminalitas. Kapolsek Depok Barat Kmpol Wachyu Tribudi mengaakui dengan bermunculannya tempat-tempat hiburan sangat berpotensi timbulnya tindakan kriminal. Namun tindakan kriminalitas itu menurutnya, bukan timbul dari pengelola tempat hiburan melainkan karena banyaknya pengunjung yang datang ke termpat hiburan dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa, pegawai kantoran dan orang umum.

“Razia difokuskan kepada pengunjung hiburan yang membawa sajam [senjata tajam], senpi [senjata api],  bahan peledak dan minuman keras yang belum mendapat izin dari pemerintah,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya