SOLOPOS.COM - HARIANJOGJA/GIGIH M. HANAFI Tiga dosen UGM yaitu Mantan Wakil Dekan III Fakultas Pertanian UGM Triyanto, dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Ken Suratiyah dan dosen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM Toekidjo dan Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Susamto Somowiyarjo saat menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jogja, Kamis (13/11). Sidang kasus kasus korupsi penjualan aset milik Fakultas Pertanian UGM dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap keempat terdakwa.

Penjualan tanah UGM ternyata memiliki dua dokumen yang saling bertentangan.

Harianjogja.com, JOGJA- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bantul tetap menerbitkan sertifikat kepada PT Gema Cipta Artindo (GCA) atas tanah seluas 4.073 meter persegi di Dusun Plumbon, Banguntapan, Bantul meskipun ada perbedaan dua dokumen tanah.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Dua dokumen yang dimaksud yakni sebagai berikut, pertama yang diajukan untuk penerbitan sertifikat oleh PT.GCA. Tertulis tanah tersebut sebelumnya dikuasai Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) sejak 1963. Kedua, dokumen lain yang menyatakan yayasan baru berdiri tanggal 22 Maret 1969.

Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara Kantor BPN Kabupaten Bantul, Muhun Nugraha mengatakan dalam penerbitan sertifikat, BPN berpijak pada Letter C. Di Letter C nomor 1907 tanah tersebut tertulis tanah atas nama yayasan.

“Pastinya sudah dicermati oleh petugas, tapi petugas tidak mengecek ke desa, hanya berdasar dokumen yang diajukan. Syarat administrasi sudah lengkap dan bisa diproses,” ujarnya saat bersaksi pada sidang lanjutan kasus dugaan korupsi peralihan tanah aset UGM, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (2/2/2015).

PT GCA adalah perusahan pengembang perumahan, yang membeli tanah di Plumbon dari yayasan seharga Rp2,01 Miliar. Tanah itu saat ini menjadi objek materi di persidangan karena yayasan diduga mengkalim kepemilikan tanah itu dari institusi UGM. Muhun mengklaim petugas BPN pasti mencermati syarat-syarat administrasi sebelum menerbitkan sertifikat tanah. Namun diakuinya pencermatan itu hanya bersifat pasif, yaitu mencermati dan meneliti dokumen-dokumen yang diajukan pemohon. Tidak secara aktif turun ke desa seperti melihat Buku Papriksan.

Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sri Mumpuni sempat mempertanyakan kewenangan petugas BPN. Ke depan, kata dia, Untuk antisipasi di kemudian hari,
adanya upaya pemalsuan dokumen pengajuan penerbitan sertifikat yang sudah bersertifikat hak atas tanah.

Karena di persidangan, juga terungkap adanya satu bidang tanah di Wonocatur yang memiliki dua sertifikat. Yaitu atas nama Hertiwi yang terbit 1987 dan atas nama Siswadi yang baru terbit 2008. Kedua sertifikat itu sama-sama diterbitkan oleh BPN.

“Kalau sebabnya, saya tidak tahu. Kemungkinan salah satunya pasti ada yang memberi data yang tidak benar,” dalih Muhun.

Sementara itu, pengacara terdakwa, Augustinus Hutajulu, di persidangan sempat mempertanyakan kapasitas Muhono diajukan sebagai saksi. Karena dia baru bertugas di BPN Bantul sejak 2012 sehingga tidak memiliki kapasitas sebagai saksi. Lebih condong keterangannya sebagai pendapat ahli.

“Saksi itu yang mengetahui, melihat, atau mendengar kejadian secara langsung,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya