SOLOPOS.COM - Tayup, tarian perlambang kesuburan yang ditampilkan di bagian akhir drama tari Kabut Lan Embun, di Dusun Gunung Gempal, Desa Giripeni, Wates, Kulonprogo, pada Kamis (31/3/2016). (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Pentas seni digelar oleh Sanggar Langit Alang-Alang untuk mengritik sikap manusia yang mengeksploitasi alam

Harianjogja.com, KULONPROGO- Kecintaan kepada bumi tak melulu harus diterjemahkan sebagai gerakan bersifat massal seperti penanaman pohon semata. Drama tari berjudul Kabut Lan Embun ditujukan untuk menggugah sanubari masyarakat akan realita hidup berdampingan dengan rimba yang tak pernah adil.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Seorang pria berkostum hitam dan membawa berbagai dahan hijau untuk kemudian berdiri diam. Tak lama, sekumpulan pria dan wanita datang dengan membawa kapak dan menari dengan liar mengelilingi pria berkostum hitam, sang pohon.

Seakan gerakan yang brutal tersebut tak cukup, para pembawa kapak kemudian berteriak-teriak dengan suara yang riuh rendah. Iringan musik yang melatarbelakangi juga menambah kesan keegoisan yang dimiliki oleh para pembawa kapak.

Adegan berlanjut ketika kapak-kapak tersebut diayunkan kepada sang pohon. Para pembawa kapak menari, berkeliling bersuka cita akan hasil tangkapan mereka untuk kemudian menggotongnya beramai-ramai.

Sang pohon tetap diam, tak mampu melakukan apa-apa. Sang pohon yang berdiri ditempat itu untuk sekian lama dengan alami dan bukan ditanam oleh sekumpulan pembawa kapak liar itu akhirnya roboh ditebang ketamakan manusia. Dibawa pergi untuk kemudian dijadikan kayu bakar, lantai rumah, atau menjadi apapun yang manusia inginkan.

Tak lama, empat penari wanita yang membawa properti api-api muncul dan menari saling mengelilingi diri. Menjadi semakin semarak ketika dilangkapi dengan teriakan-teriakan histeris,”kebakaran, kebakaran!”.

Jelas sudah, tarian ini adalah gambaran kebakaran hebat yang sedang terjadi di tempat yang sama di mana sang pohon berdiri sebelumnya. Para penari api ini kemudian undur diri dan suasana senyap seketika.

Maka kemudian datanglah empat pria membawa kain panjang berwarna biru dan menggerakkannya naik turun tak beraturan, mengilustrasikan banjir. Selang sekian detik, empat wanita datang dengan histeris, membawa barang-barangnya dan mengeluhkan banjir yang menerjang rumah dan harta mereka.

Wanita yang sama dengan segerombolan wanita pembawa kapak. Mereka menangis, menggerutu, dan mengeluhkan. Sekumpulan wanita ini jadi gambaran nyata betapa manusia buta akan sikapnya kepada bumi dan rimba. Manusia-manusia ini buta dan hanya sekedar meratap tanpa menoleh kebelakang akan sikap mereka.

Suasana senyap kala dua pria kemudian saling berhadapan untuk berdialog, berkeluh-kesah. Salah satu pria, yang dipanggil dengan istilah ‘Pak Lurah’, mendapatkan laporan bahwa gunungnya sudah gundul, terbakar dan diterjang banjir. Menyadari bahwa desanya, Desa Giripeni merupakan daerah pegunungan maka heranlah ia.

“Bagaimana daerah gunung bisa banjir?”cetus pria yang menggunakan jarik panjang ini. Si pelapor, pria berkumis bercelana pendek menjelaskan bahwa warganya telah membabat habis hutan-hutannya hingga tak ada yang tersisa.

Si pelapor yang rakyat jelata ini kemudian mendesak Sang Lurah untuk bertanggungjawab atas sejumlah bencana yang terjadi bertubi-tubi di daerahnya. Entah bagaimana, Sang Lurah diminta untuk memberikan solusi secepatnya, seefektif mungkin atau warga hanya akan semakin menderita.

Merasa tertuntut, Sang Lurah tertegun dan mengambil jeda sejenak guna berpikir. Akhirnya ia berkata,”kumpulkan warga, tanam kembali pohon dan jangan lagi ditebang sembarangan.”

Musik berubah semarak dan riang, empat penari wanita dengan masing-masing bibit pohon di dalam pot muncul dan melenggak-lenggokkan tubuhnya sembari tersenyum ceria. Kemudian, bibit diletakkan di tanah dan disajikanlah adegan menanam pohon.

Empat penari pria kemudian menyusul, menari di belakang penari wanita dengan menyesuaikan gerakannya. Berwajah sumringah dan bahagia, si penari pria terus menari selaras dengan penari wanita hingga music sayup-sayup berhenti dan mereka undur diri.

“Bagian terakhir disebut Tayup, tarian perlambang kesuburan,” ujar Dewi Puspita Sari, koreografer sekaligus penari dalam Kabut Lan Embun menjelaskan tarian berpasangan yang ditampilkan terakhir, Kamis (31/3/2016).

Ia menjelaskan bahwa tarian ini memang sengaja diciptakan khusus untuk menjiwai fenomena kerusakan lingkungan yang nyata terjadi saat ini. Tarian yang ditampilkan oleh 35 anggota Sanggar Langit Alang-Alang ini memang dimaksudkan untuk menampilkan realita yang terjadi kepada masyarakat. Menurutnya, manusia seringkali lupa bahwa tindakan tak adil yang dilakukan kepada alam akan berbalik pada manusia pada waktunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya