SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) provinsi DI. Yogyakarta mengamankan pengemis yang terjaring saat operasi penertiban gelandangan pengemis (gepeng) di jalan Argolubang, Lempuyangan, Yogyakarta, Jumat (14/08/2015). Gelandangan dan pengemis banyak berdatangan pada hari Jumat, seiring banyaknya warga yang bersedekah pada hari tersebut. Masyarakat dihimbau untuk menyalurkan sedekah maupun pemberian lain melalui lembaga amal mapun sosial agar lebih tepat sasaran.

Perda gepeng masih sulit diterapkan sepenuhnya

Harianjogja.com, JOGJA — Keberadaan ratusan pengemis yang hilir mudik di DIY terutama di ruas jalan Kota Jogja rupanya digerakkan oleh mafia. Keterangan itu terungkap saat dengar pendapat dalam rangka menerima masukan masyarakat terkait pembahasan Rakepwan tentang rekomendasi DPRD DIY terkait pengawasan Perda DIY No. 1/2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis, Selasa (18/10/2016).

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Muhadjir menjelaskan meski belum ada penelitian khusus, tetapi fenomena semacam mafia pengemis sesungguhnya ada di Jogja. Bahwa pengemis datang ke Jogja ada pihak yang sengaja mengorganisir mereka sebagai ujung tombak untuk bisnis agar mendapatkan keuntungan ekonomi. Keberadaan pengemis yang didrop sejumlah mobil dari luar Jogja sebenarnya telah menjadi cerita lama.

(Baca Juga : PERDA GEPENG : Jatah Makanan di Penampungan Hanya 190 Orang, Jumlah Gelandangan & Pengemis 300 Orang)

“Saya kira itu harus ada penelitian serius [terkait isu ini] untuk mengetahui itu secara jelas dan cermat dan itu bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan [dalam penanggulangan gelandangan pengemis],” terangnya di Gedung DPRD DIY, Selasa (18/10/2016).

Ia menegaskan, dalam fenomena itu pengemis muncul bukan karena kemiskinan. Akantetapi menjadikan kegiatan mengemis itu sebagai pekerjaan, bahkan bukan tidak mungkin ada pengemis yang kaya juga beroperasi di Jogja. Mereka sebenarnya memiliki fasilitas memadai di tempat tinggalnya, tetapi karena aktivitas mengemis menuntut untuk berganti pakaian buruk sehingga melakukannya disaat akan mengemis.

“Bahkan tadi disampaikan adanya kampung yang warganya hidup dari mengemis itu bukan kampung pengemis, secara fisik rumah bagus, alat rumah tangganya bagus, mereka kalau keluar pakaian bagus tapi kalau mengemis harus pakai pakaian buruk karena diperlukan sebagai pengemis,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya