Jogja
Selasa, 19 Januari 2016 - 22:20 WIB

PERTANIAN BANTUL : Kisah Petani Bantul, Harap-harap Cemas Menanti Hujan

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lahan padi tadah hujan yang baru ditanam di Desa Mangunan, Dlingo mulai mengering dan ditanami rumput liar karena minimnya curah hujan. Gambar diambil, Sabtu (16/1/2016). (Bhekti Suryani/JIBI/Harian Jogja)

Pertanian Bantul menghadapi ancaman kekeringan karena hujan yang jarang turun di musim ini

Harianjogja.com, BANTUL- Kegagalan panen membayangi ratusan petani di Bantul karena minimnya curah hujan tahun ini. Fenomena alam El Nino menyebabkan berkurangnya curah hujan, kendati bukan musim kemarau. Bagaimana petani menghadapi situasi ini?

Advertisement

Sudah delapan hari ini Wantiyo tak pernah lagi tidur nyenyak. Ia hanya tidur selama empat jam setiap hari. Sejak pukul 07.30 WIB ia sudah bergegas ke Sungai Oya. Setiba di sana, bapak tiga anak itu langsung menghidupkan pompa air. Air yang disedot lalu ditampung ke bak penampungan.

Lelaki 60 tahun itu tak berhenti di situ, ia masih harus memompa air dari bak penampungan untuk dialirkan ke lahan padi melalui pipa paralon. “Ini masih untung hanya dua kali pompa, lahan lain yang lokasinya lebih jauh harus tiga kali pompa lagi,” kata warga Dusun Lanteng, Selopamioro, Imogiri itu Senin (18/1/2016) siang.

Setelah pompa dihidupkan dan air mengalir, ia masih harus memeriksa pipa paralon, mengecek barangkali ada saluran air yang bocor. Kegiatan itu ia lakoni hingga pukul 03.00 dinihari setelah mesin pompa dimatikan. Setelah itu ia baru pulang ke rumah untuk beristirahat.

Advertisement

“Ini sekaligus menunggui pompa air, di musim seperti sekarang pompa rawan hilang karena semua orang butuh. Kalau malam enggak dijaga bakal hilang. Di Desa Karangtengah baru beli satu hari sudah hilang,” petani yang juga aktif di organisasi pertanian itu semangat berkisah.

Pompa air bak penolong bagi Wantiyo dan petani lainnya di Dusun Lanteng. Berminggu-minggu ia “mengemis” ke sana kemari untuk mendapatkan pompa air itu. Hanya dengan pompa itu ia masih punya harapan tanaman padinya bakal selamat. “Pompa itu kami cari susah payah, kami minta bantuan ke salah seorang anggota dewan di Pleret,” ungkap dia.

Sejak memasuki musim hujan Desember lalu, baru dua kali hujan mengguyur Selopamioro. Wantiyo masih ingat hujan dua kali turun pada Desember.

Advertisement

Setelah itu, Selopamioro kembali kering. Padahal sebagian besar petani di desa ini mengandalkan sawah tadah hujan untuk mengairi lahan mereka karena irigasi tak menjangkau wilayah ini.

Namun hujan yang petani harapkan itu tak turun seperti biasanya. Di Selopamioro ada sekitar 126 hektare lahan pertanian yang terancam gagal panen. Kondisi padi di ratusan hektare lahan tersebut kini kritis lantaran tak tersentuh air.

“Kalau sampai dua minggu lagi tidak ada air, ratusan hektare lahan itu pasti gagal panen. Ini saja meski sudah ada pompa enggak bisa menjangkau semua lahan. Baru sekitar 11 hingga 12 hektare yang bisa dialiri air. Itu pun untuk membasahi tanah sedikit saja supaya akar padi tidak mati,” katanya tampak yakin.

Bagi keluarga Wantiyo, padi yang dipanen setahun sekali itu sangat berharga. Selama ini ia mengandalkan hidup dari tanamannya sendiri. “Kalau sampai gagal panen enggak ada lagi yang bisa kami makan. Di sini padi kebanyakan untuk dimakan sendiri, hanya sebagian kecil yang dijual,” suara Wantiyo terdengar cemas.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif